Selasa, 14 Desember 2010

Membuka Kotak Hitam Teknologi


IBIECA adalah nama sebuah desa kecil di sebelah timur laut Spanyol. Beberapa bangunan tua peninggalan kerajaan Spanyol abad ke-13 tampak masih kokoh berdiri. Sekitar seratus keluarga mendiami Ibieca. Tidak semata-mata jumlah kecil ini yang menciptakan keakraban di antara para penduduk. Di salah satu sudut desa terdapat sebuah tempat istimewa. Sebuah pancuran dengan aliran air yang jernih dan dingin.
Di sinilah para Ibiecan setiap hari bertemu dan bercengkerama satu sama lain. Mereka bersenda gurau di sela-sela aktivitas menimba air yang biasanya dikerjakan kaum lelaki pada saat kaum perempuan sibuk menggosok cucian yang menumpuk. Suasana air pancuran semakin ramai dengan teriakan riang gembira anak-anak kecil yang bermain air sambil bertelanjang dada. Bagi Ibiecan, air pancuran adalah pusat segala aktivitas social mereka. Dari gagasan-gagasan serius hingga gosip si ini jatuh hati dengan si itu, semuanya mengalir sama derasnya dengan air pancuran tersebut.
SUATU hari penduduk Ibieca menerima kabar bahwa tidak lama lagi di desa Ibieca akan terpasang pipa-pipa besi yang mengantarkan air langsung ke rumah-rumah. Penduduk Ibieca pun dengan serta-merta menyambut riang gembira. Dengan kedatangan teknologi tersebut, kaum lelaki merasa senang karena mereka tidak perlu lagi mengeluarkan tenaga untuk menimba dan membawa air ke rumah. Kaum perempuan pun tidak kalah antusiasnya. Mereka segera berbondong-bondong membeli mesin cuci untuk dipakai di rumah masing-masing.
Tanpa disadari teknologi mengubah kehidupan sosial desa Ibieca. Dengan dipasangnya pipa air ke rumah-rumah, penduduk Ibieca tidak lagi melakukan kegiatan rutinitas mereka di air pancuran. Interaksi sosial yang selama ini mereka lakukan menghilang. Kaum lelaki tidak lagi akrab dengan keledai peliharaan mereka yang biasa membantu membawa air. Para perempuan tidak lagi berbagi cerita tentang keadaan desa yang biasa mereka lakukan di air pancuran. Suara anak kecil riang gembira menghilang dari warna desa karena mereka sibuk bermain di rumah masing-masing. Teknologi telah mengubah ikatan sosial kultural yang kuat di antara Ibiecan, sebuah ikatan yang membentuk kaum Ibiecan sebagai sebuah komunitas.
Kisah Desa Ibieca seperti yang dikutip Richard Sclove di atas adalah sebuah parabel modernitas yang menunjukkan bagaimana sebuah tatanan sistem sosial mengalami perubahan dengan adanya intervensi teknologi. Ibieca tidaklah sendiri. Sejarah sosial kultural manusia penuh dengan perubahan yang dipicu oleh utilisasi teknologi di masyarakat. Relasi antara manusia dan teknologi tidaklah sesederhana mengatakan bahwa teknologi adalah media untuk mengubah manusia. Manusia tidak pernah bersikap pasif terhadap teknologi. Respons imajinatif senantiasa mewarnai interaksi timbale balik antara manusia dan teknologi, sebuah interaksi yang selalu melibatkan dimensi sosial, politik, dan kultural. Pada titik inilah relasi antara manusia dan teknologi menjadi diskursus menarik sekaligus penting. Menarik karena kompleksitasnya. Penting karena teknologi selalu menjadi bagian dari setiap episode sejarah manusia.
Dilema determinisme
Bagi para praktisi teknologi, fungsi teknologi tidak perlu dipertanyakan lagi. Teknologi diciptakan untuk membantu mengatasi keterbatasan fisik manusia. Dia berperan sebagai media untuk mencapai kepuasaan material. Teknologi dibentuk oleh parameter efisiensi dan efektivitas sedemikian rupa untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Pemahaman demikian berangkat dari asumsi bahwa teknologi modern muncul dari rasionalitas dan kemampuan logika manusia dalam mengadopsi prinsip-prinsip pengetahuan ilmiah sains ke dalam artifak teknologis.
Pandangan instrumentalis di atas mungkin bisa diterima dalam tingkat pragmatis, tapi tidak dalam tingkat filosofis karena pandangan ini tidak cukup untuk menjelaskan makna dan implikasi teknologi bagi manusia. Lebih penting lagi, pandangan instrumentalis memiliki kecenderungan untuk mendewakan teknologi dan meletakkannya sebagai faktor penentu dalam perubahan sosial dan simbol kemajuan peradaban manusia. Sikap ini melahirkan pandangan determinisme teknologi yang bersifat ideologis. Determinisme teknologi dalam pandangan instrumentalis ini mesti dicermati karena dia menafikan aspek moral dan etika dalam relasi antara manusia dan teknologi.
Determinisme teknologi itu sendiri bukan hal yang baru. Dalam catatan Merritt Roe Smith, paham determinisme teknologi telah muncul sejak awal revolusi industri. Gagasan ini memikat para pemikir era Pencerahan dan semakin tumbuh subur di budaya masyarakat Amerika Utara di mana semangat kemajuan melekat dengan kuat. Determinisme teknologi berangkat dari satu asumsi bahwa teknologi adalah kekuatan kunci dalam mengatur masyarakat. Dalam paham ini struktur sosial dianggap sebagai kondisi yang terbentuk oleh materialitas teknologi. Paham ini begitu dominan dalam masyarakat kontemporer, termasuk dalam lingkungan akademik.
Selama tiga dekade terakhir, para sarjana studi sosial teknologi telah memberi respons kritis terhadap paham determinisme teknologi. Dalam analisis Andrew Feenberg, setidaknya dua premis dalam determinisme teknologi yang bermasalah. Pertama adalah asumsi bahwa teknologi berkembang secara unilinear dari konfigurasi sederhana ke yang lebih kompleks. Kedua
adalah asumsi bahwa masyarakat harus tunduk kepada perubahan-perubahan yang terjadi dalam dunia teknologi. Kedua premis tersebut sulit diterima karena pola-pola teknologi itu sendiri banyak dipengaruhi oleh kondisi sosial, kultural, dan politik, di mana teknologi itu berada.
Kritik terhadap determinisme teknologi merupakan respons terhadap implikasi politis ideologis yang dihasilkan oleh paham ini. Ini terjadi karena determinisme teknologi cenderung memaksakan suatu bentuk universalitas struktur institusional teknologi ke dalam masyarakat. Universalisasi institutional ini menjadi media hegemoni modernitas. Seperti yang diwaspadai oleh Rosalind Williams, determinisme teknologi memungkinkan motivasi politis, ekonomi, dan ideologis para pemilik modal masuk ke dalam sistem teknologi dan mengurangi otoritas masyarakat dalam memilih arah teknologi. Bagi David Noble, determinisme teknologi tidak hanya memberi penjelasan yang tidak akurat tentang relasi antara manusia dan teknologi, tetapi juga terlalu menyederhanakan dan bahkan mematikan makna dalam kehidupan manusia. Menurut Noble, pada satu sisi determinisme teknologi menawarkan janji-janji modernitas, tetapi di sisi lain memaksakan suatu bentuk fatalisme.
Fenomenologi teknologi
Bagaimanakah relasi antara manusia dan teknologi terjadi? Fenomenologi adalah kendaraan untuk mencari jawabannya. Studi fenomenologi teknologi mengeksplorasi pengalaman manusia dan secara spesifik menjelaskan bagaimana struktur pengalaman yang bersifat multidimensi tersebut tersusun. Setidaknya itu yang dilakukan Don Ihde untuk memahami relasi antara manusia dan teknologi secara komprehensif.
Berangkat dari eksistensialisme Heideggerian, Ihde mengembangkan “ontologi relativistis” untuk memahami keberadaan manusia dalam wilayah teknologi. Ontologi relativistis bukan relativisme, melainkan lebih sebagai media untuk menganalisis relasionalitas antara manusia yang mengalami (human experiencer) dan wilayah yang dialami (the field of experience).
Analisis relasionalitas ini dilakukan melalui dua kategori persepsi, yakni persepsi mikro yang bersifat indrawi dan persepsi makro yang bersifat kultural atau hermeneutik. Bagi Ihde, kedua jenis persepsi ini saling terikat satu sama lain. Persepsi mikro tidak pernah lepas dari konteks persepsi makro. Sebaliknya, persepsi makro tidak akan pernah ada tanpa dorongan persepsi mikro.
Melalui fenomenologi persepsi ini, Ihde menawarkan konsep multistabilitas untuk menggali lebih dalam ke wilayah kompleksitas budaya teknologi. Konsep multistabilitas menekankan bahwa relasi antara manusia dan teknologi tidak tunggal. Relasi ini dapat muncul dalam berbagai bentuk walaupun dengan artefak teknologi yang sama. Multistabilitas meletakkan teknologi tidak dalam satu posisi hermeneutik, tapi dalam berbagai titik relasi dengan manusia. Karena itu, teknologi bersifat multi-interpretatif tergantung pada konteks kultural di mana dia berada. Dengan kata lain, makna sebuah artefak teknologi akan selalu berubah sesuai dengan masyarakat yang memaknainya.
Bentukan sosial teknologi
Prinsip-prinsip dalam fenomenologi teknologi tidak menjadi barang eksklusif dalam studi filsafat. Jika kita menilik secara saksama, fenomenologi menjadi dasar metodologi studi sosial teknologi, khususnya sosiologi teknologi dalam memahami relasi antara teknologi dan masyarakat. Bagi para sosiolog teknologi, teknologi merupakan cermin dari proses imbal-balik yang kompleks yang terjadi di masyarakat. Dalam perspektif ini, berhasil atau gagalnya teknologi bukanlah hal yang penting karena pada dasarnya teknologi adalah hasil sebuah kompromi. Proses-proses sosial yang membentuk teknologi adalah refleksi dari cara kita hidup dan mengatur masyarakat.
Selama dua dekade terakhir, sosiologi teknologi telah membangun berbagai model sosial untuk menjelaskan perkembangan teknologi dan mencari tahu apa dan bagaimana faktor-faktor sosial bekerja dalam proses tersebut. Salah satu konsep dalam sosiologi teknologi saat ini adalah social construction of technology (SCOT) dengan Wiebe Bijker dan Trevor Pinch sebagai pelopornya. SCOT sendiri diilhami oleh sosiologi pengetahuan ilmiah yang sangat kental dengan muatan konstruktivisme. Tidak heran jika pendekatan konstruktivisme dalam studi sains di impor ke dalam SCOT dan menjadi inti dari konsep ini.
Konsep SCOT bertujuan untuk memberi penjelasan alternatif terhadap argumen deterministik para ahli ekonomi teknologi, seperti Giovanni Dosi, Richard Nelson, Christopher Freeman, dan kawan kawan. Menurut para ahli ekonomi tersebut, teknologi berkembang mengikuti suatu lajur tertentu dan lajur ini dapat diprediksi atau setidaknya dapat diidentifikasi. Bagi Bijker dan Pinch, tesis ini terlalu mengada-ada. Perkembangan teknologi tidaklah otonom dan tidak melalui suatu momentum yang bersifat inheren. Kita tidak bisa membuat suatu aturan bagaimana teknologi harus berkembang karena dia bergerak secara tidak pasti. Dia sangat bergantung pada faktor-faktor sosial yang kompleks. Jika suatu teknologi mengalami perubahan, hal itu karena adanya kondisi eksternal yang mendorongnya untuk berubah. Gagasan SCOT berpusat pada tesis bahwa perkembangan teknologi dalam suatu sistem sosial melewati tiga fase melalui interaksi kelompok sosial relevan yang memiliki kepentingan dan memberi makna terhadap suatu artifak teknologi. Pada fase pertama terjadi fleksibilitas interpretatif di mana sejumlah kelompok sosial menginterpretasikan suatu artefak teknologi secara berbeda. Pada fase kedua terjadi proses stabilisasi melalui interaksi antarkelompok sosial. Fase ini diwarnai dengan konflik dan negosiasi antara kelompok sosial yang berujung pada sebuah kompromi. Fase ketiga tercapai setelah para kelompok sosial mencapai suatu “persetujuan” akan makna dari artifak teknologi tersebut. Pada fase ini desain dari artefak teknologi menjadi stabil.
Secara empiris, SCOT telah banyak dipakai oleh peneliti dalam memahami bagaimana suatu teknologi berkembang menjadi seperti sekarang. Para peneliti sosial teknologi menggunakan model SCOT untuk memahami perkembangan berbagai teknologi, mulai dari yang sederhana, seperti sepeda, bakelit, dan bola lampu, hingga yang kompleks, seperti sistem
elektrifikasi, peluru kendali, dan Internet. Lepas dari keberhasilan ini, SCOT menerima beberapa kritikan. Langdon Winner mengkritik SCOT karena terlalu apolitis dan tidak menghiraukan konsekuensi sosial dari pilihan teknologi. Sementara itu, Hans Klein dan Daniel Kleinman mengkritik SCOT karena kadar peran individu yang terlalu besar sehingga cenderung menafikan struktur sosial dalam analisisnya. Karena itu, tidak heran jika SCOT gagal menjelaskan peran kondisi struktural dalam perkembangan teknologi. Satu poin yang paling penting dari kritik Klein dan Kleinman adalah SCOT mengabaikan satu hal yang sangat krusial dalam proses pengembangan teknologi, yakni faktor kekuasaan.
Kekuasaan dalam konfigurasi
Relasi kekuasaan dan teknologi adalah sebuah tema besar dalam studi sosial teknologi. Setidaknya tiga kasus menarik bias kita amati dalam domain ini untuk melihat bagaimana kekuasaan dan teknologi saling bereproduksi satu sama lain.
Kasus pertama adalah analisis Langdon Winner tentang jembatan di Long Island, New York, yang ditulis dalam artikelnya Do Artifacts Have Politics? Di sepanjang jalan bebas hambatan di Long Island terdapat sekitar puluhan jembatan penyeberangan. Selintas tidak ada hal yang istimewa dari jembatan-jembatan tersebut. Tetapi, jika diamati dengan saksama, proporsi
jembatan tersebut tidaklah “normal”. Tinggi jembatan tersebut hanya sekitar 2,7 meter sehingga hanya mobil sedan yang dapat lewat di bawahnya. Menurut Winner, keganjilan desain tersebut bukanlah karena alasan-alasan teknis, misalnya efisiensi material atau efektivitas sistem konstruksi. Jembatan-jembatan tersebut di desain dan dibangun dengan konfigurasi demikian untuk menghasilkan suatu dampak sosial tertentu. Ini dilakukan dengan sengaja oleh pendesainnya, yakni Robert Moses, seorang tokoh sentral dalam pembangunan kota New York di awal abad ke-20. Dari investigasinya, Winner menemukan suatu agenda rasialis dan diskriminatif di balik desain jembatan Long Island. Jembatan-jembatan tersebut dibangun sesuai dengan spesifikasi yang diberikan oleh Moses untuk menghalangi masuknya bis ke wilayah tersebut. Hal ini untuk membatasi akses kaum kelas bawah kulit hitam dan hispanik yang biasanya menggunakan bis umum menuju ke Jones Beach, sebuah pantai cantik berpasir putih di sebelah timur Long Island.
Kasus menarik lain datang dari studi David Noble tentang desain mesin kontrol numerik. Mesin kontrol numerik adalah system otomasi yang digunakan dalam membuat alat produksi barang manufaktur. Teknologi in pertama kali dikembangkan oleh William Pease dan James McDonough dari MIT pada tahun 1940-an. Melalui mesin ini, proses pembuatan alat dilakukan melalui proses numerik secara otomatis dengan tingkat kecepatan dan kepresisian yang tinggi. Sebelum mesin kontrol numerik muncul, proses pembuatan alat menggunakan suatu jenis teknologi yang disebut record playback. Perbedaan mendasar antara mesin kontrol numerik dan record playback terdapat pada aspek pengontrolan manusia. Pada record playback, walaupun terjadi proses otomasi berupa pengulangan gerakan mesin, keberadaan seorang teknisi pada proses awal sangat mutlak karena di sinilah sumber keterampilan yang direkam oleh mesin. Dalam mesin kontrol numerik, peran dari teknisi dihilangkan dan diganti dengan suatu sistem representasi matematis. Walaupun mesin kontrol numerik jelas superior dalam faktor teknis ekonomis, hal ini tidak dapat menjelaskan sepenuhnya mengapa record playback tersingkir oleh mesin tersebut. Dalam analisis Noble, terdapat suatu motivasi untuk menghilangkan peran manusia dalam proses produksi karena manusia dianggap sebagai sumber kesalahan dan ketidakpastian. Di sini rekayasa teknik digunakan pemilik modal untuk mengurangi ketergantungan mereka terhadap pekerja melalui peningkatan kontrol mereka atas sistem produksi.
Sekarang mari kita memutar balik jarum jam kembali ke abad delapan belas di mana hidup seorang filsuf Inggris bernama Jeremy Bentham. Bentham lahir di London dan menyelesaikan studi hukum di Queen’s College, Oxford. Pada tahun 1791, Bentham membuat usulan “aneh” yakni sebuah desain gedung penjara yang diberi nama Panopticon yang berarti “melihat semuanya”. Panopticon terdiri dari sel-sel yang disusun secara melingkar dengan pintu sel menghadap ke dalam inti lingkaran tersebut. Dinding antarsel dibuat tebal agar komunikasi antarpenghuni sel tidak terjadi. Di bagian belakang sel dipasang jendela kecil agar cahaya dapat masuk menerangi isi sel. Di pusat lingkaran sel-sel tersebut dibangun sebuah menara pengawas dengan jendela penutup. Dengan konfigurasi seperti ini, si penjaga dapat melihat semua penghuni sel sementara penghuni sel tidak dapat melihat si penjaga.
Michel Foucault melihat Panopticon sebagai suatu model kontrol yang unik, suatu metode kontrol yang tidak lagi menggunakan dominasi fisik terhadap raga, tetapi melalui isolasi dan observasi yang kontinu. Efek signifikan dari Panopticon adalah penginduksian tingkat visibilitas yang secara sadar dan permanen dilakukan untuk memastikan berfungsinya kekuasaan. Panopticon adalah sebuah mesin yang berfungsi untuk menciptakan sekaligus melestarikan suatu relasi kekuasaan yang lepas dari pihak yang melakukannya. Secara materialistis, jembatan Long Island, mesin kontrol numerik, dan penjara Panopticon adalah artefak-artefak yang terdiri dari elemen-elemen yang netral. Namun, ketika elemen-elemen ini membentuk suatu konfigurasi, dengan serta-merta netralitas tersebut sirna. Dengan konfigurasi tertentu, artefak teknologi berubah menjadi media hegemoni, dominasi, dan kontrol untuk memenuhi kepentingan sang pencipta konfigurasi tersebut. Dari perspektif ini kita bisa melihat tiga artefak di atas sebagai refleksi dari relasi manusia dan teknologi melalui kekuasaan yang meliputi tiga tujuan. Pada kasus jembatan Long Island, teknologi berfungsi sebagai media praktik kekuasaan. Pada kasus mesin kontrol numerik, teknologi menjadi alat untuk melanggengkan kekuasaan. Adapun pada kasus penjara Panopticon, teknologi berfungsi untuk memproduksi kekuasaan.
Budaya dan teknologi
Kekuasaan tidak lahir dari kondisi vakum. Dia muncul dari suatu konsteks budaya tertentu sehingga kekuasaan selalu bersifat kontekstual dan lokal. Karena itu, seperti yang dikatakan Bryan Pfaffenberger, penjelasan praktik kekuasaan dalam teknologi tidak akan pernah memuaskan jika kesadaran tentang sistem budaya diabaikan. Pfaffenberger berargumen bahwa fungsi politis dari suatu teknologi baru dapat tercapai jika teknologi tersebut dibungkus dalam mitos dan ritual dan menjadi alat kontrol produksi dan resepsi makna. Argumen Pfaffenberger didukung oleh David Hess melalui konsep relasi kekuasaan dan budaya. Hess menggunakan konsep ini untuk memahami kompleksitas operasi kekuasaan di masyarakat. Menurut Hess, tanpa adanya perspektif budaya, analisis kekuasaan akan menjadi tumpul dan hanya hanya terfokus pada sejumlah kategori sosial yang terbatas. Hasilnya adalah pengamatan dimensi kekuasaan yang sempit. Mendekati kekuasaan melalui budaya dalam teknologi mengantarkan kita ke konsep konstruksi budaya. Konstruksi budaya tersusun melalui proses interpretasi-reinterpretasi dan produksi-reproduksi simbol, identitas, dan makna di dalam masyarakat. Aliran dari keluaran proses ini lalu ditransformasikan ke dalam artefak teknologi. Dalam kerangka konstruksi budaya ini, pengembangan teknologi menyerupai apa yang disebut Claude Levi-Strauss sebagai bricolage.
Bricolage adalah aktivitas penggabungan elemen-elemen yang ada untuk memenuhi suatu tuntutan lingkungan. Menurut Hess, teknologi modern tidak berbeda jauh dengan prinsip bricolage di mana interpretasi budaya membentuk versi teknologi di masyarakat. Dalam pola ini, seorang praktisi teknologi adalah seorang bricoleur. Dia menghasilkan suatu teknologi baru melalui rekonstruksi elemen-elemen yang sudah ada untuk dibentuk menjadi suatu teknologi “baru” dalam konteks budaya di mana dia berada. Dalam kata lain, orisinalitas teknologi ditentukan oleh konsep makna yang digunakan.
Pada tingkat praksis, konsep konstruksi budaya dalam teknologi tidak hanya untuk memahami lebih mendalam bagaimana teknologi berinteraksi dengan makna, ritual, dan nilai. Oleh Linda Layne, konstruksi budaya dapat dijadikan “tool” untuk membuat teknologi lebih manusiawi dan dapat diterima dengan baik di masyarakat. Di sini Layne menawarkan apa yang dia sebut sebagai “cultural fix” di mana nilai-nilai budaya di adopsi ke dalam konfigurasi teknologi. Hal ini dapat dilakukan melalui pemahaman makna dalam masyarakat untuk mengidentifikasi kesenjangan antara teknologi dan masyarakat dan mencari solusinya.
Ketika kotak itu terbuka
Kompleksitas teknologi modern telah melampaui batas dimensi indrawi manusia dalam mencerna. Kondisi ini membentuk sikap “taken for granted” dalam masyarakat kontemporer terhadap teknologi, suatu sikap yang menerima teknologi dengan mata tertutup. Tragisnya, sikap ini secara perlahan menggali jurang dalam yang dapat menjebloskan manusia ke dalam bencana kemanusiaan.
Namun demikian, kita tidak perlu menjadi paranoid dan bersikap antiteknologi. Alasan untuk menolak sikap ini jelas karena manusia tidak akan pernah lepas dari teknologi. Yang dibutuhkan adalah suatu tingkat pemahaman teknologi yang lebih mendalam. Pada tingkat ini, teknologi tidak lagi dilihat pada aspek materialitasnya yang sering bersifat ilusif melainkan sebagai suatu bentuk upaya penyingkapan daya yang tersembunyi di alam seperti yang dilontarkan Martin Heidegger. Penyingkapan ini bagai pedang bermata dua. Dia mengantarkan manusia kepada bentuk “kebenaran” tentang potensi-potensi yang tersembunyi di alam. Di sisi lain dia memancing nafsu dan keserakahan manusia untuk terus melakukan dominasi dan kontrol terhadap alam. Pemahaman teknologi secara esensial melalui dimensi sosial, politik, dan kultural menyediakan tangga bagi kita untuk naik dan menggapai kotak hitam teknologi yang selama ini kita letakkan di atas kesadaran kemanusiaan kita. Pemahaman esensi teknologi ini juga menjadi kunci untuk membuka kotak hitam tersebut. Dan ketika kotak itu terbuka kita bisa melihat sebuah cermin yang terpasang rapi di dalam kotak itu. Cermin yang menunjukkan wajah kita sendiri.
***
Penulis adalah Mahasiswa Program Doktor Dept Science and Technology Studies Rensselaer Polytechnic Institute di Troy, New York, Amerika Serikat / Sumber: Kompas Cyber Media

Rabu, 20 Oktober 2010

Peran Teknologi Komunikasi Dalam Kehidupan Sehari-Hari

Salam Blogger....
Dalam kehidupan kita mendatang (sekarangpun sudah tampak), sektor teknologi informasi dan telekomunikasi merupakan sektor yang cukup dominan. Siapa saja yang menguasai teknologi, akan menjadi pemimpin dalam dunianya. Pada pembelajaran sebelumnya telah Anda pelajari teknologi informasi dan komunikasi  pada berbagai bidang. Pembelajaran ini merupakan pengembangan dari pembelajaran sebelumnya yang menekankan pada peranan teknologi informasi dan komunikasi.
Peran Teknologi Informasi dan Komunikasi
Teknologi informasi  dan komunikasi banyak berperan dalam berbagai bidang, salah satunya adalah di Bidang Pendidikan
(Peranan Teknologi Informasi dan Komunikasi Bidang Pendidikan) – Globalisasi
Telah memicu kecenderungan pergeseran-pergeseran dalam dunia pendidikan dari tatap muka yang konvensional ke arah pendidikan yang lebih terbuka dan lebih fleksibel. Beberapa ahli sejak dulu telah meramalkan perubahan-perubahan di bidang pendidikan. Mereka itu diantaranya berikut ini:
  • Ivan Illich, tahun 70-an mengagas tentang Pendidikan tanpa Sekolah (Deschooling Socieiy) yang secara ekstrim guru tidak lagi diperlukan.
  • Bishop G., tahun 1989 meramalkan bahwa pendidikan mendatang akan bersifat luwes (flexible), terbuka, dan dapat diakses oleh siapapun yang memerlukan tanpa batasan usia maupun pengalaman pendidikan sebelumnya.
  • Mason R., tahun 1994 berpendapat bahwa pendidikan mendatang akan lebih ditentukan oleh jaringan  informasi yang memungkinkan terjadinya interaksi dan kolaborasi.
  • Tony Bates, tahun 1995 menyatakan bahwa teknologi dapat meningkatkan kualitas dan jangkauan bila digunakan secara bijak untuk pendidikan dan latihan, dan mempunyai arti yang sangat penting untuk  kesejahteraan ekonomi.
  • Alisjahbana I., tahun 1966 mengemukakan bahwa pendekatan pendidikan dan pelatihan akan bersifat Saat itu juga (Just on Time), teknik pengajaran akan bersifat dua arah, kolaboratif, dan interdisipliner.
  • Romiszowski & Mason (1996) memprediksi penggunaan Computer-based Multimedia Communication (CMC) yang bersifat sinkron dan asinkron.
Dari Sudut Pandang Dosen
Dari sudut pandang dosen, solusi pendidikan online ini harus memenuhi kriteria-kriteria sebagai berikut:
  • Mudah digunakan
  • Memungkinkan pembuatan bahan kuliah online dan kelas online dengan cepat dan mudah
  • Hanya memerlukan pelatihan minimal
  • Memungkinkan pengajaran dengan cara mereka sendiri
  • Memungkinkan mereka mengendalikan lingkungan pengajaran
Dari Sudut Pandang Mahasiswa
Dari sudut mahasiswa yang dicari adalah
  • Fleksibilitas dalam mengambil mata kuliah
  • Bahan kuliah yang lebih kaya dibandingkan yang didapat di kelas
  • Berjalan di komputer yang sudah mereka miliki
  • Menyertakan kolaborasi antarmahasiswa seperti cara tradisional
  • Mencakup konsultasi dengan dosen, diskusi kelas, teman belajar, dan proyek-proyek bersama.
Dari pandangan para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa dengan masuknya pengaruh globalisasi, pendidikan masa depan akan lebih bersifat terbuka dan dua arah, beragam, multidisipliner, serta terkait pada produktivitas kerja saat itu juga dan kompetitif. Adapun kecenderungan dunia pendidikan di Indonesia di masa mendatang adalah:
  • Berkembangnya pendidikan terbuka dengan modus belajar jarak jauh (Distance Learning). Kemudahan untuk menyelenggarakan pendidikan terbuka dan jarak jauh telah menjadi perhatian pemerintah sebagai strategi utama.
  • Sharing resources antar lembaga pendidikan/latihan dalam sebuah jaringan.
  • Perpustakaan dan instrumen pendidikan lainnya seperti guru dan laboratorium akan berubah fungsi menjadi sumber informasi.
  • Penggunaan perangkat teknologi informasi interaktif, seperti CD-ROM dan Multimedia, dalam pendidikan secara bertahap menggantikan TV dan Video.
Dengan perkembangan teknologi informasi dalam bidang pendidikan, sudah dimungkinkan untuk diadakan belajar jarak jauh menggunakan media internet untuk menghubungkan antara peserta didik dengan pendidiknya, melihat nilai peserta didik secara online, mengecek keuangan, melihat jadwal pelajaran, mengirimkan berkas tugas yang diberikan pendidik dan sebagainya. Faktor utama dalam distance learning yang selama ini dianggap masalah adalah tidak adanya interaksi antara pendidik dan peserta didik.
Dengan media internet, sangat dimungkinkan untuk melakukan interaksi antara pendidik  dan peserta didik baik dalam bentuk real time (waktu nyata) atau tidak. Melalui bentuk real time dapat dilakukan dalam suatu chatroom, interaksi langsung dengan real audio atau real video, dan online meeting. Bentuk tidak real time bisa dilakukan dengan mailing list, discussion group, newsgroup, dan buletin board.  Dengan cara di atas interaksi pendidik dan peserta didik di kelas dapat digantikan walaupun tidak secara utuh.
Melalui web, bentuk-bentuk materi, ujian, kuis dan cara pendidikan lainnya dapat juga diwujudkan. Materi pendidik dibuat dalam bentuk presentasi di web dan dapat di download oleh peserta didik. Ujian dan kuis yang dibuat oleh pendidik dapat pula dilakukan dengan cara yang sama. Urusan administrasi juga dapat diselesaikan langsung dalam satu proses registrasi, di dukung dengan metode pembayaran online. Dengan suatu pendidikan jarak jauh berbasis web dapat dikembangkan hal-hal di bawah ini.
1.             Pusat kegiatan peserta didik
Sebagai suatu community web based distance learning dapat menjadikan sarana ini sebagai tempat kegiatan peserta didik dapat menambah kemampuan, membaca materi pelajaran , mencari informasi dan sebagainya.
2.             Interaksi dalam grup para peserta didik
Peserta didik dapat berinteraksi satu sama lain untuk mendiskusikan materi-materi yang diberikan pendidik. Pendidik   dapat hadir dalam group ini untuk memberikan sedikit ulasan tentang materi yang diberikannya.
3.             Sistem administrasi para peserta didik
Peserta didik dapat melihat informasi mengenai status, prestasi dan sebagainya.
4.             Pendalaman materi dan ujian dapat dilakukan kuis singkat dan tugas untuk pendalaman dari apa yang telah diajarkan serta melakukan test pada akhir masa belajar.
5.             Perpustakaan digital berbagai informasi
Kepustakaan tidak terbatas pada buku tapi juga pada kepustakaan digital seperti suara, gambar dan sebagainya yang ditunjang dengan database.
6.             Materi online diluar materi pelajaran
Untuk menunjang pelajaran ,  tentu diperlukan juga bahan bacaan dari web lainnya. Pendidik  dan peserta didik dapat langsung terlibat memberikan bahan lainnya untuk di publikasikan kepada peserta didik lainnya melalui web.
Di negara maju, pendidikan jarak jauh telah merupakan alternatif pendidikan yang cukup diminati. Metoda pendidikan ini diikuti oleh para peserta didik, karyawan, eksekutif, bahkan ibu rumah tangga dan orang lanjut usia (pensiunan). Beberapa tahun yang lalu pertukaran materi dilakukan dengan surat menyurat, atau dilengkapi dengan materi audio dan video. Sekarang  hampir seluruh program distance learning di Amerika, Australia dan Eropa dapat juga diakses melalui internet. Studi yang dilakukan oleh Amerika, sangat mendukung dikembangkannya e-learning.
Global Distance Learning Network (GDLN) sangat efektif, memungkinkan 30% pendidikan menjadi lebih baik, 40% waktu lebih singkat, dan 30% biaya lebih murah. Bank Dunia (World Bank) pada tahun 1997 telah mengumumkan program Global Distance Learning Network (GDLN) yang memiliki anggota/mitra sebanyak 80 negara di dunia. Melalui GDLN ini World Bank dapat memberikan e-learning kepada peserta didik 5 kali lebih banyak (dari 30 menjadi 150 peserta didik) dengan biaya 31% lebih murah.

KESIMPULAN
Teknologi informasi dapat meningkatkan kinerja dan memungkinkan berbagai kegiatan untuk dilaksanakan dengan cepat, tepat dan akurat, sehingga akhirnya akan meningkatkan produktivitas kerja. Teknologi Informasi adalah suatu teknologi untuk mengolah data : memproses, mendapatkan, menyusun, menyimpan, dan memanipulasi data dengan berbagai cara untuk menghasilkan informasi yang berkualitas. Peran yang dapat diberikan oleh aplikasi teknologi informasi ini adalah mendapatkan informasi untuk kehidupan pribadi, kolektif, profesi, dan asosiasi profesi. Pada era informasi, jarak fisik atau jarak geografis  bukan faktor penentu dalam interaksi manusia, atau lembaga usaha, sehingga dunia ini menjadi suatu kampung global atau Global village.
Perkembangan teknologi informasi telah memacu cara baru dalam kehidupan dari awal sampai akhir seperti ini dikenal dengan e-life. Artinya kehidupan ini sudah dipengaruhi oleh berbagai kebutuhan secara elektronik. Selanjutnya sekarang marak berbagai terminologi yang dimulai dengan awalan e seperti e-commerce, e-government, e-education, e-library, e-journal, e-medicine, e-laboratory, e-biodiversitiy, dan yang lainnya. Terminologi tersebut menunjukkan bidang-bidang terapan dari teknologi informasi.
Berdasarkan kebutuhan untuk berinteraksi, manusia senantiasa berupaya mencari dan mencipta sistem dan alat untuk berinteraksi, mulai dari gambar (bentuk lukisan), isyarat (tangan, asap, dan bunyi), huruf, kata, kalimat, tulisan, surat, sampai dengan telepon dan internet. Perkembangan sistem informasi dalam kehidupan manusia  sebenarnya seiring dengan peradaban manusia itu sendiri yang sekarang  sampai pada Teknologi Informasi. Informasi yang dibutuhkan, senantiasa dikekola, disampaikan juga terus dikembangkan, dari informasi yang sederhana seperti sekedar  menggambarkan sesuatu yang bersifat indiidual, sampai pada informasi strategis seperti taktik bertempur.
Pada masa pra-sejarah, teknologi informasi digunakan sebagai sistem untuk pengenalan bentuk-bentuk yang ingin dikenali. Pengembangan ilmu pengetahuan dalam bidang Informasi pada masa Perang Dunia 2 yang digunakan untuk kepentingan pengiriman dan penerimaan dokumen-dokumen militer yang disimpan dalam bentuk magnetic tape. Pada masa sejarah, teknologi informasi berkembang pada masayarakat kalangan atas seperti para kepala suku atau kelompok. Pada masalah itu teknologi digunakan pada kegiatan  tertentu seperti upacara, dan ritual. Pertumbuhan internet melaju dengan sangat cepat dan mulai merambah ke dalam  segala segi kehidupan manusia dan menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari manusia.

Senin, 18 Oktober 2010

Berita


Jangan Membunuh Pernah Membunuh Pertanyaan, sebab dari situlah munculnya Segala Informasi. Laporan berita merupakan tugas profesi wartawan, saat berita dilaporkan oleh wartawan laporan tersebut menjadi fakta / ide terkini yang dipilih secara sengaja oleh redaksi pemberitaan / media untuk disiarkan dengan anggapan bahwa berita yang terpilih dapat menarik khalayak banyak karena mengandung unsur-unsur berita.
Stasiun televisi biasanya memiliki acara berita atau menayangkan berita sepanjang waktu. Kebutuhan akan berita ada dalam masyarakat, baik yang melek huruf maupun yang buta huruf.
Berikut ini ada beberapa defenisi berita menurut tokoh:
Berita adalah informasi baru atau informasi mengenai sesuatu yang sedang terjadi, disajikan lewat bentuk cetak, siaran, Internet, atau dari mulut ke mulut kepada orang ketiga atau orang banyak.
1.      Menurut Dean M. Lyle Spencer : Berita adalah suatu kenyataan atau ide yang benar yang dapat menarik perhatian sebagian besar dari pembaca.
2.      Menurut Willard C. Bleyer : Berita adalah sesuatu yang termasa ( baru ) yang dipilih oleh wartawan untuk dimuat dalam surat kabar. Karena itu ia dapat menarik atau mempunyai makana bagi pembaca surat kabar, atau karena ika dapat menarik pembaca - pembaca tersebut.
3.      Menurut William S Maulsby : Berita adalah suatu penuturan secara benar dan tidak memihak dari fakta yang mempunyai arti penting dan baru terjadi, yang dapat menarik perhatian pembaca surat kabar yang memuat berita tersebut.
4.      Menurut Eric C. Hepwood : Berita adalah laporan pertama dari kejadian yang penting yang dapat menarik perhatian umum
5.      Menurut Dja’far H Assegaf : Berita adalah laporan tentang fakta atau ide yang termasa ( baru ), yang dipilih oleh staff redaksi suatu harian untuk disiarkan, yang dapat menarik perhatian pembaca. Entah karena luar biasa, entah karena pentingnya, atau akibatnya, entah pula karena ia mencakup segi – segi human interest seperti humor, emosi dan ketegangan.
6.      Menurut Chilton R. Bush, berita adalah informasi yang “merangsang”, dengan informasi itu orang biasa dapat merasa puas dan bergairah.
7.      Menurut J.B. Wahyudi : Berita adalah laporan tentang peristiwa atau pendapat yang memilki nilai penting, menarik bagi sebagian khalayak, masih baru dan dipublikasikan melalui media massa periodik.
8.      Menurut Amak Syarifuddin : Berita adalah suatu laporan kejadian yang ditimbulkan sebagai bahan yang menarik perhatian publik media massa.
9.      Charnley sendiri menyebutkan bahwa berita adalah laporan tentang fakta atau pendapat orang yang terikat oleh waktu, yang menarik dan/atau penting bagi sejumlah orang tertentu.
10.  Menurut Brian S Brook dkk (1985), berita terdiri dari unsur fakta. Namun tidak setiap fakta adalah berita. Berita biasanya menyangkut manusia tetapi tidak setiap orang bernilai berita. Berita, demikian Brian S Brook, adalah tentang apa yang terjadi di dunia namun hanya serpihan kecil fakta yang dilaporkan.


Kamis, 14 Oktober 2010

Adaptive Structuration Theory

ADAPTIVE STRUCTURATION THEORY

Ferdy dan istrinya, Emy, mengawali hari-hari awal hidup barunya di sebuah perumahan, di pinggir kota. Seminggu sudah mereka menempati rumah tipe 36, dengan tanah seluas 90 m2 itu. Ferdy merasa belum sepenuhnya menjadi warga di perumahan itu, karenanya dia segera menghubungi Ketua RT setempat. Ferdy ingin segera melaporkan kepindahan mereka di perumahan tersebut.
“Saya mohon bimbingannya Pak, mungkin ada tata tertib yang perlu saya ketahui,” kata Ferdy, suatu malam di tempat Pak RT. “Secara umum tata tertibnya standar, sebagaima berlaku di daerah lainnya, misalnya kalau ada yang menginap harap melaporkan ke RT, dan Portal akan ditutup pukul sebelas malam. Dan jangan lupa, sekali dalam sebulan kita ketemu dalam rapat RT,” Pak RT memberikan penjelasan.
Kini Ferdy merasa lebih lega. Bersama istrinya, dia berusaha menjadi warga yang baik. Dia selalu mengingatkan istrinya untuk tidak lupa menaruh uang recehan di kaleng jimpitan pada pagar depan. Ferdy pun berusaha untuk tidak melewatkan kesempatan untuk bertemu warga lainnya dalam rapat RT tiap bulan.


Manusia memang unik, di satu sisi selalu ingin bebas, tetapi di sisi lain selalu ingin diatur. Manusia selalu menciptakan dan ingin menjadi bagian dari struktur. Begitu juga dengan Ferdy, dia ingin menjadi bagian dari struktur sosial di mana dia tinggal. Ferdy selalu berusaha menyesuaikan diri dengan tata tertib yang ada di lingkungannya. Realitas inilah yang menjadi fokus perhatian Teori Strukturasi Adaptif (Adaptive Structuration Theory)

Latar Belakang Teori
Adalah Marshall Scott Poole yang mengembangkan Teori Strukturasi adaptif (Adaptive Structuration Theory). Profesor komunikasi pada Texas A&M University itu dikenal sebagai pakar di bidang komunikasi kelompok dan komunikasi organisasi, terutama pada sisi metodologi penelitian dan perkembangan teori. Poole mengembangkan teori ini bersama rekan-rekannya, yaitu Robert McPhee dari Arizona State University dan David Seibold dari The University California.
Gagasan Poole berangkat dari teori strukturasi yang dikemukakan Anthony Giddens. Dalam penelitiannya, Gidden mendeskripsikan bagaimana institusi sosial—kelompok dan organisasi, misalnya—diproduksi, direproduksi, dan ditransformasi melalui penggunaan aturan-aturan sosial. Aturan itu dibuat sebagai panduan perilaku anggotanya, sebagaimana cetak biru yang digunakan untuk mengarahkan seorang kontraktor dalam membangun struktur bangunan (West & Turner, 2007:296). Kunci dari memahami komunikasi yang terjadi dalam sebuah kelompok atau organisasi, menurut Gidden, adalah dengan mempelajari struktur yang menjadi fondasi mereka. Gidden membedakan pengertian sistem dan struktur. Sistem adalah kelompok itu sendiri, termasuk juga perilaku yang dilaksanakannya, Sementara struktur adalah aturan-aturan yang mereka sepakati. Dalam contoh di atas, sistem adalah kelompok Rukun Tangga (RT), sedangkan aturan berupa tata tertib warga adalah strukturnya.
Teori ini mengambil nama ‘Strukturasi Adaptif’, karena anggota kelompok secara sengaja meyesuaikan aturan dan sumberdaya untuk mencapai tujuan. Selain itu, strukturasi adalah sesuatu yang lebih kompleks daripada model urutan tunggal. Poole percaya bahwa nilai dari pembuatan teori keputusan kelompok bergantung pada seberapa baik ia mengalamatkan kekomplekskan interaksi yang ada dalam sebuah kelompok.

Esensi Teori
West dan Turner (2007:299) menggarisbawahi tiga asumsi pokok teori strukturasi adaptif, yaitu:
1. Kelompok dan organisasi diproduksi dan direproduksi melalui penggunaan aturan dan sumber daya.
2. Aturan komunikasi berfungsi baik sebagai sebagai medium maupun hasil akhir dari interaksi.
3. Strukturasi kekuasaan ada di dalam organisasi dan menuntut proses pengambilan keputusan dengan menyediakan informasi mengenai bagaimana cara untuk mencapai tujuan kita dengan cara yang terbaik.
Poole menekankan pentingnya memahami bahwa individu menciptakan dan membentuk kelompok sebagaimana mereka berperilaku di dalamnya. Perilaku anggota kelompok, seperti dikatakan Giddens, dipengaruhi oleh tiga elemen tindakan yaitu interpretasi, moralitas, dan kekuasaan. Interpretasi dilakukan melalui bahasa, moralitas didirikan melalui norma kelompok, dan kekuasaan diraih melalui struktur kekuasaan interpersonal yang timbul dalam kelompok. Menurut Poole, interaksi selalu menyangkut ketiga hal tersebut. Poole mengasumsikan bahwa anggota kelompok adalah aktor yang memiliki keterampilan dan pengetahuan yang secara refleksif mengontrol aktivitas mereka. Moralitas, interpretasi, dan kekuasan selalu dikombinasikan dalam setiap tindakan kelompok. Konstribusi tiga elemen tindakan tersebut sangat menarik sebagai awal bagi kita memahami proses yag dilalui oleh kelompok saat mereka membuat suatu keputusan.
Berdasarkan pernyataan Poole dan rekan-rekan megenai teori ini dapat dikatakan bahwa esensi teori ini adalah : kelompok-kelompok dapat mengikuti rangkaian atau urutan yang bervariasi dalam perkembangan keputusan, bergantung pada kemungkinan-kemungkinan yang mereka hadapi.
Sebelum Poole mencetuskan teorinya, para peneliti berpikir bahwa mereka telah mengidentifikasi pola universal untuk pengambilan keputusan di kelompok kecil. Pola ini dikenal juga dengan nama model urutan tunggal (a single sequence model) yang terdiri dari :
1. Orientasi (orientation); usaha-usaha tidak terfokus karena tujuan belum jelas
2. Konflik (conflict); orang-orang tidak setuju pada pendekatan terhadap masalah
3. Penggabungan (coalescence); ketegangan dikurangi melalui negosiasi damai
4. Pembangunan (Development); kelompok berkonsentrasi pada cara untuk mengimplementasikan solusi tunggal
5. Integrasi (integration), kelompok berfokus pada ketegangan – solidaritas bebas daripada tugas.
Marshall Poole tidak dapat menerima model urutan tunggal ini. Menurutnya dinamika kelompok merupakan hal yang sangat rumit dan tidak dapat disederhanakan ke dalam satu rangkaian proposisi atau rangkaian peristiwa tunggal terprediksi. Pembuatan keputusan kelompok adalah proses di mana anggota-anggota kelompok berusaha untuk mencapai persetujuan pada keputusan terakhir. Individu mengeluarkan opini dan preferensi dan dengannya memproduksi atau mereproduksi aturan tertentu di mana persetujuan bisa dicapai atau dihadang. Dalam membuat keputusan tersebut, menurutnya kelompok-kelompok terkadang mengikuti prosedur terprediksi, namun terkadang mereka tidak sistematik, dan terkadang juga mereka mengembangkan suatu jalur atau urutan sendiri dalam rangka merespon suatu kebutuhan unik yang mereka hadapi. Hal Ini tidak dapat terlepas dari tiga variabel yang mempengaruhi bagaimana kelompok beroperasi, yaitu :
1. Objective task characteristics; yakni menyangkut jenis permasalahan, kejelasan masalah, jenis keahlian yang diperlukan, dampak dari permasalahan, dan nilai-nilai yang terkandung dalam permasalahan tersebut.
2. Group task characteristics; yakni menyangkut pengalaman terdahulu kelompok terhadap masalah tersebut, dan tingkat urgensi keputusan.
3. Group structural characteristic; yakni menyangkut kohesivitas kelompok, ukuran kelompok, serta distribusi kekuasaan.
Sesua dengan tesis Giddens, Poole menegaskan bahwa anggota kelompok adalah agen aktif. Strukturasi adalah produksi dan reproduksi sistem sosial melalui penggunaan aturan-aturan dan sumberdaya oleh anggota dalam interaksi. Interaksi dalam teori tersebut itu adalah tindakan yang didasarkan pada kehendak bebas. Sedangkan aturan adalah proposisi yang membuat keputusan bernilai atau menunjukkan bagaimana sesuatu seharusnya dilakukan. Sementara sumberdaya adalah material-material, barang milik, dan karakter yang dapat digunakan untuk mempengaruhi atau mengendalikan tindakan kelompok atau anggotanya. Produksi terjadi ketika anggota kelompok menggunakan aturan-aturan dan sumberdaya dalam interaksi, sementara itu reproduksi terjadi ketika fitur penguatan tindakan dari sistem sudah ada di tempat.
Dalam penelitian yang ia lakukan bersama rekan-rekannya, Poole menemukan secara umum ada tiga jenis rangkaian keputusan, yaitu :
1. A Standard unitary Sequence (rangkaian standar tunggal); ini serupa dengan model urutan tunggal.
2. Complex Cyclic Sequence (rangkaian putaran kompleks); kelompok akan melihat kedepan maupun ke belakang dalam rangka mencari kejelasan masalah dan mengasilkan solusi yang tepat.
3. Solution Oriented Sequence (rangkaian orientasi solusi); pada rangkaian ini tidak dilakukan analisis masalah secara mendalam, fokus diletakkan pada solusi ke depan.
Selanjutnya, dalam jalur keputusan yang dilalui oleh kelompok, terdapat tiga jalur aktivitas, atau bagian yang dikembangkan dan dilakukan oleh kelompok di sepanjang rangkaian, yaitu :
1. Task – process – track; berkaitan dengan tugas, misalnya analisis masalah dan merancang solusi.
2. Relational track; berkaitan dengan hubungan interpersonal, misalnya ketidaksetujuan dan kesepakatan.
3. Topic – focus track; sebuah seri dari isu atau keprihatinan yang dimiliki kelompok saat itu.
Proses kelompok terjadi pada jalur-jalur tersebut, dan selama proses berlangsung terjadi perpindahan jalur, serta terdapat transisi atau titik berhenti (breakpoint) saat perpindahan dari satu jalur ke jalur lainnya. Breakpoint merupakan hal yang sangat penting karena menandakan point kunci dalam perkembangan aktivitas pembuatan keputusan kelompok. Ada tiga jenis breakpoint yaitu :
1. Normal breakpoint; transisi ini diharapkan dan terduga. Titik ini mencakup istirahat, dan pergantian topik.
2. Delays; yakni masalah yang tidak terduga yang menyebabkan jeda dalam fungsi normal kelompok. Delay termasuk pendiskusian kembali isu-isu yang diperlukan kelompok untuk memecahkan konflik atau mengusahakan kesepahaman. Delay dapat menandakan adanya kesulitan dalam proses pengambilan keputusan, namun juga bisa menjadi tanda positif yang menunjukkan kehati-hatian dalam berpikir atau aktivitas kreatif.
3. Disruption; tingkatannya lebih serius, mencakup ketidaksetujuan dalam skala besar dan kegagalan kelompok (Littlejohn, 1996:297)
Gambar yang disajikan di halaman berikut, merupakan gambaran dari rangkaian, jalur dan breakpoint dalam proses pembuatan keputusan kelompok (Littlejohn, 1996:298).

Sumber : http://manajemenkomunikasi.blogspot.co