Selasa, 14 Desember 2010

Membuka Kotak Hitam Teknologi


IBIECA adalah nama sebuah desa kecil di sebelah timur laut Spanyol. Beberapa bangunan tua peninggalan kerajaan Spanyol abad ke-13 tampak masih kokoh berdiri. Sekitar seratus keluarga mendiami Ibieca. Tidak semata-mata jumlah kecil ini yang menciptakan keakraban di antara para penduduk. Di salah satu sudut desa terdapat sebuah tempat istimewa. Sebuah pancuran dengan aliran air yang jernih dan dingin.
Di sinilah para Ibiecan setiap hari bertemu dan bercengkerama satu sama lain. Mereka bersenda gurau di sela-sela aktivitas menimba air yang biasanya dikerjakan kaum lelaki pada saat kaum perempuan sibuk menggosok cucian yang menumpuk. Suasana air pancuran semakin ramai dengan teriakan riang gembira anak-anak kecil yang bermain air sambil bertelanjang dada. Bagi Ibiecan, air pancuran adalah pusat segala aktivitas social mereka. Dari gagasan-gagasan serius hingga gosip si ini jatuh hati dengan si itu, semuanya mengalir sama derasnya dengan air pancuran tersebut.
SUATU hari penduduk Ibieca menerima kabar bahwa tidak lama lagi di desa Ibieca akan terpasang pipa-pipa besi yang mengantarkan air langsung ke rumah-rumah. Penduduk Ibieca pun dengan serta-merta menyambut riang gembira. Dengan kedatangan teknologi tersebut, kaum lelaki merasa senang karena mereka tidak perlu lagi mengeluarkan tenaga untuk menimba dan membawa air ke rumah. Kaum perempuan pun tidak kalah antusiasnya. Mereka segera berbondong-bondong membeli mesin cuci untuk dipakai di rumah masing-masing.
Tanpa disadari teknologi mengubah kehidupan sosial desa Ibieca. Dengan dipasangnya pipa air ke rumah-rumah, penduduk Ibieca tidak lagi melakukan kegiatan rutinitas mereka di air pancuran. Interaksi sosial yang selama ini mereka lakukan menghilang. Kaum lelaki tidak lagi akrab dengan keledai peliharaan mereka yang biasa membantu membawa air. Para perempuan tidak lagi berbagi cerita tentang keadaan desa yang biasa mereka lakukan di air pancuran. Suara anak kecil riang gembira menghilang dari warna desa karena mereka sibuk bermain di rumah masing-masing. Teknologi telah mengubah ikatan sosial kultural yang kuat di antara Ibiecan, sebuah ikatan yang membentuk kaum Ibiecan sebagai sebuah komunitas.
Kisah Desa Ibieca seperti yang dikutip Richard Sclove di atas adalah sebuah parabel modernitas yang menunjukkan bagaimana sebuah tatanan sistem sosial mengalami perubahan dengan adanya intervensi teknologi. Ibieca tidaklah sendiri. Sejarah sosial kultural manusia penuh dengan perubahan yang dipicu oleh utilisasi teknologi di masyarakat. Relasi antara manusia dan teknologi tidaklah sesederhana mengatakan bahwa teknologi adalah media untuk mengubah manusia. Manusia tidak pernah bersikap pasif terhadap teknologi. Respons imajinatif senantiasa mewarnai interaksi timbale balik antara manusia dan teknologi, sebuah interaksi yang selalu melibatkan dimensi sosial, politik, dan kultural. Pada titik inilah relasi antara manusia dan teknologi menjadi diskursus menarik sekaligus penting. Menarik karena kompleksitasnya. Penting karena teknologi selalu menjadi bagian dari setiap episode sejarah manusia.
Dilema determinisme
Bagi para praktisi teknologi, fungsi teknologi tidak perlu dipertanyakan lagi. Teknologi diciptakan untuk membantu mengatasi keterbatasan fisik manusia. Dia berperan sebagai media untuk mencapai kepuasaan material. Teknologi dibentuk oleh parameter efisiensi dan efektivitas sedemikian rupa untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Pemahaman demikian berangkat dari asumsi bahwa teknologi modern muncul dari rasionalitas dan kemampuan logika manusia dalam mengadopsi prinsip-prinsip pengetahuan ilmiah sains ke dalam artifak teknologis.
Pandangan instrumentalis di atas mungkin bisa diterima dalam tingkat pragmatis, tapi tidak dalam tingkat filosofis karena pandangan ini tidak cukup untuk menjelaskan makna dan implikasi teknologi bagi manusia. Lebih penting lagi, pandangan instrumentalis memiliki kecenderungan untuk mendewakan teknologi dan meletakkannya sebagai faktor penentu dalam perubahan sosial dan simbol kemajuan peradaban manusia. Sikap ini melahirkan pandangan determinisme teknologi yang bersifat ideologis. Determinisme teknologi dalam pandangan instrumentalis ini mesti dicermati karena dia menafikan aspek moral dan etika dalam relasi antara manusia dan teknologi.
Determinisme teknologi itu sendiri bukan hal yang baru. Dalam catatan Merritt Roe Smith, paham determinisme teknologi telah muncul sejak awal revolusi industri. Gagasan ini memikat para pemikir era Pencerahan dan semakin tumbuh subur di budaya masyarakat Amerika Utara di mana semangat kemajuan melekat dengan kuat. Determinisme teknologi berangkat dari satu asumsi bahwa teknologi adalah kekuatan kunci dalam mengatur masyarakat. Dalam paham ini struktur sosial dianggap sebagai kondisi yang terbentuk oleh materialitas teknologi. Paham ini begitu dominan dalam masyarakat kontemporer, termasuk dalam lingkungan akademik.
Selama tiga dekade terakhir, para sarjana studi sosial teknologi telah memberi respons kritis terhadap paham determinisme teknologi. Dalam analisis Andrew Feenberg, setidaknya dua premis dalam determinisme teknologi yang bermasalah. Pertama adalah asumsi bahwa teknologi berkembang secara unilinear dari konfigurasi sederhana ke yang lebih kompleks. Kedua
adalah asumsi bahwa masyarakat harus tunduk kepada perubahan-perubahan yang terjadi dalam dunia teknologi. Kedua premis tersebut sulit diterima karena pola-pola teknologi itu sendiri banyak dipengaruhi oleh kondisi sosial, kultural, dan politik, di mana teknologi itu berada.
Kritik terhadap determinisme teknologi merupakan respons terhadap implikasi politis ideologis yang dihasilkan oleh paham ini. Ini terjadi karena determinisme teknologi cenderung memaksakan suatu bentuk universalitas struktur institusional teknologi ke dalam masyarakat. Universalisasi institutional ini menjadi media hegemoni modernitas. Seperti yang diwaspadai oleh Rosalind Williams, determinisme teknologi memungkinkan motivasi politis, ekonomi, dan ideologis para pemilik modal masuk ke dalam sistem teknologi dan mengurangi otoritas masyarakat dalam memilih arah teknologi. Bagi David Noble, determinisme teknologi tidak hanya memberi penjelasan yang tidak akurat tentang relasi antara manusia dan teknologi, tetapi juga terlalu menyederhanakan dan bahkan mematikan makna dalam kehidupan manusia. Menurut Noble, pada satu sisi determinisme teknologi menawarkan janji-janji modernitas, tetapi di sisi lain memaksakan suatu bentuk fatalisme.
Fenomenologi teknologi
Bagaimanakah relasi antara manusia dan teknologi terjadi? Fenomenologi adalah kendaraan untuk mencari jawabannya. Studi fenomenologi teknologi mengeksplorasi pengalaman manusia dan secara spesifik menjelaskan bagaimana struktur pengalaman yang bersifat multidimensi tersebut tersusun. Setidaknya itu yang dilakukan Don Ihde untuk memahami relasi antara manusia dan teknologi secara komprehensif.
Berangkat dari eksistensialisme Heideggerian, Ihde mengembangkan “ontologi relativistis” untuk memahami keberadaan manusia dalam wilayah teknologi. Ontologi relativistis bukan relativisme, melainkan lebih sebagai media untuk menganalisis relasionalitas antara manusia yang mengalami (human experiencer) dan wilayah yang dialami (the field of experience).
Analisis relasionalitas ini dilakukan melalui dua kategori persepsi, yakni persepsi mikro yang bersifat indrawi dan persepsi makro yang bersifat kultural atau hermeneutik. Bagi Ihde, kedua jenis persepsi ini saling terikat satu sama lain. Persepsi mikro tidak pernah lepas dari konteks persepsi makro. Sebaliknya, persepsi makro tidak akan pernah ada tanpa dorongan persepsi mikro.
Melalui fenomenologi persepsi ini, Ihde menawarkan konsep multistabilitas untuk menggali lebih dalam ke wilayah kompleksitas budaya teknologi. Konsep multistabilitas menekankan bahwa relasi antara manusia dan teknologi tidak tunggal. Relasi ini dapat muncul dalam berbagai bentuk walaupun dengan artefak teknologi yang sama. Multistabilitas meletakkan teknologi tidak dalam satu posisi hermeneutik, tapi dalam berbagai titik relasi dengan manusia. Karena itu, teknologi bersifat multi-interpretatif tergantung pada konteks kultural di mana dia berada. Dengan kata lain, makna sebuah artefak teknologi akan selalu berubah sesuai dengan masyarakat yang memaknainya.
Bentukan sosial teknologi
Prinsip-prinsip dalam fenomenologi teknologi tidak menjadi barang eksklusif dalam studi filsafat. Jika kita menilik secara saksama, fenomenologi menjadi dasar metodologi studi sosial teknologi, khususnya sosiologi teknologi dalam memahami relasi antara teknologi dan masyarakat. Bagi para sosiolog teknologi, teknologi merupakan cermin dari proses imbal-balik yang kompleks yang terjadi di masyarakat. Dalam perspektif ini, berhasil atau gagalnya teknologi bukanlah hal yang penting karena pada dasarnya teknologi adalah hasil sebuah kompromi. Proses-proses sosial yang membentuk teknologi adalah refleksi dari cara kita hidup dan mengatur masyarakat.
Selama dua dekade terakhir, sosiologi teknologi telah membangun berbagai model sosial untuk menjelaskan perkembangan teknologi dan mencari tahu apa dan bagaimana faktor-faktor sosial bekerja dalam proses tersebut. Salah satu konsep dalam sosiologi teknologi saat ini adalah social construction of technology (SCOT) dengan Wiebe Bijker dan Trevor Pinch sebagai pelopornya. SCOT sendiri diilhami oleh sosiologi pengetahuan ilmiah yang sangat kental dengan muatan konstruktivisme. Tidak heran jika pendekatan konstruktivisme dalam studi sains di impor ke dalam SCOT dan menjadi inti dari konsep ini.
Konsep SCOT bertujuan untuk memberi penjelasan alternatif terhadap argumen deterministik para ahli ekonomi teknologi, seperti Giovanni Dosi, Richard Nelson, Christopher Freeman, dan kawan kawan. Menurut para ahli ekonomi tersebut, teknologi berkembang mengikuti suatu lajur tertentu dan lajur ini dapat diprediksi atau setidaknya dapat diidentifikasi. Bagi Bijker dan Pinch, tesis ini terlalu mengada-ada. Perkembangan teknologi tidaklah otonom dan tidak melalui suatu momentum yang bersifat inheren. Kita tidak bisa membuat suatu aturan bagaimana teknologi harus berkembang karena dia bergerak secara tidak pasti. Dia sangat bergantung pada faktor-faktor sosial yang kompleks. Jika suatu teknologi mengalami perubahan, hal itu karena adanya kondisi eksternal yang mendorongnya untuk berubah. Gagasan SCOT berpusat pada tesis bahwa perkembangan teknologi dalam suatu sistem sosial melewati tiga fase melalui interaksi kelompok sosial relevan yang memiliki kepentingan dan memberi makna terhadap suatu artifak teknologi. Pada fase pertama terjadi fleksibilitas interpretatif di mana sejumlah kelompok sosial menginterpretasikan suatu artefak teknologi secara berbeda. Pada fase kedua terjadi proses stabilisasi melalui interaksi antarkelompok sosial. Fase ini diwarnai dengan konflik dan negosiasi antara kelompok sosial yang berujung pada sebuah kompromi. Fase ketiga tercapai setelah para kelompok sosial mencapai suatu “persetujuan” akan makna dari artifak teknologi tersebut. Pada fase ini desain dari artefak teknologi menjadi stabil.
Secara empiris, SCOT telah banyak dipakai oleh peneliti dalam memahami bagaimana suatu teknologi berkembang menjadi seperti sekarang. Para peneliti sosial teknologi menggunakan model SCOT untuk memahami perkembangan berbagai teknologi, mulai dari yang sederhana, seperti sepeda, bakelit, dan bola lampu, hingga yang kompleks, seperti sistem
elektrifikasi, peluru kendali, dan Internet. Lepas dari keberhasilan ini, SCOT menerima beberapa kritikan. Langdon Winner mengkritik SCOT karena terlalu apolitis dan tidak menghiraukan konsekuensi sosial dari pilihan teknologi. Sementara itu, Hans Klein dan Daniel Kleinman mengkritik SCOT karena kadar peran individu yang terlalu besar sehingga cenderung menafikan struktur sosial dalam analisisnya. Karena itu, tidak heran jika SCOT gagal menjelaskan peran kondisi struktural dalam perkembangan teknologi. Satu poin yang paling penting dari kritik Klein dan Kleinman adalah SCOT mengabaikan satu hal yang sangat krusial dalam proses pengembangan teknologi, yakni faktor kekuasaan.
Kekuasaan dalam konfigurasi
Relasi kekuasaan dan teknologi adalah sebuah tema besar dalam studi sosial teknologi. Setidaknya tiga kasus menarik bias kita amati dalam domain ini untuk melihat bagaimana kekuasaan dan teknologi saling bereproduksi satu sama lain.
Kasus pertama adalah analisis Langdon Winner tentang jembatan di Long Island, New York, yang ditulis dalam artikelnya Do Artifacts Have Politics? Di sepanjang jalan bebas hambatan di Long Island terdapat sekitar puluhan jembatan penyeberangan. Selintas tidak ada hal yang istimewa dari jembatan-jembatan tersebut. Tetapi, jika diamati dengan saksama, proporsi
jembatan tersebut tidaklah “normal”. Tinggi jembatan tersebut hanya sekitar 2,7 meter sehingga hanya mobil sedan yang dapat lewat di bawahnya. Menurut Winner, keganjilan desain tersebut bukanlah karena alasan-alasan teknis, misalnya efisiensi material atau efektivitas sistem konstruksi. Jembatan-jembatan tersebut di desain dan dibangun dengan konfigurasi demikian untuk menghasilkan suatu dampak sosial tertentu. Ini dilakukan dengan sengaja oleh pendesainnya, yakni Robert Moses, seorang tokoh sentral dalam pembangunan kota New York di awal abad ke-20. Dari investigasinya, Winner menemukan suatu agenda rasialis dan diskriminatif di balik desain jembatan Long Island. Jembatan-jembatan tersebut dibangun sesuai dengan spesifikasi yang diberikan oleh Moses untuk menghalangi masuknya bis ke wilayah tersebut. Hal ini untuk membatasi akses kaum kelas bawah kulit hitam dan hispanik yang biasanya menggunakan bis umum menuju ke Jones Beach, sebuah pantai cantik berpasir putih di sebelah timur Long Island.
Kasus menarik lain datang dari studi David Noble tentang desain mesin kontrol numerik. Mesin kontrol numerik adalah system otomasi yang digunakan dalam membuat alat produksi barang manufaktur. Teknologi in pertama kali dikembangkan oleh William Pease dan James McDonough dari MIT pada tahun 1940-an. Melalui mesin ini, proses pembuatan alat dilakukan melalui proses numerik secara otomatis dengan tingkat kecepatan dan kepresisian yang tinggi. Sebelum mesin kontrol numerik muncul, proses pembuatan alat menggunakan suatu jenis teknologi yang disebut record playback. Perbedaan mendasar antara mesin kontrol numerik dan record playback terdapat pada aspek pengontrolan manusia. Pada record playback, walaupun terjadi proses otomasi berupa pengulangan gerakan mesin, keberadaan seorang teknisi pada proses awal sangat mutlak karena di sinilah sumber keterampilan yang direkam oleh mesin. Dalam mesin kontrol numerik, peran dari teknisi dihilangkan dan diganti dengan suatu sistem representasi matematis. Walaupun mesin kontrol numerik jelas superior dalam faktor teknis ekonomis, hal ini tidak dapat menjelaskan sepenuhnya mengapa record playback tersingkir oleh mesin tersebut. Dalam analisis Noble, terdapat suatu motivasi untuk menghilangkan peran manusia dalam proses produksi karena manusia dianggap sebagai sumber kesalahan dan ketidakpastian. Di sini rekayasa teknik digunakan pemilik modal untuk mengurangi ketergantungan mereka terhadap pekerja melalui peningkatan kontrol mereka atas sistem produksi.
Sekarang mari kita memutar balik jarum jam kembali ke abad delapan belas di mana hidup seorang filsuf Inggris bernama Jeremy Bentham. Bentham lahir di London dan menyelesaikan studi hukum di Queen’s College, Oxford. Pada tahun 1791, Bentham membuat usulan “aneh” yakni sebuah desain gedung penjara yang diberi nama Panopticon yang berarti “melihat semuanya”. Panopticon terdiri dari sel-sel yang disusun secara melingkar dengan pintu sel menghadap ke dalam inti lingkaran tersebut. Dinding antarsel dibuat tebal agar komunikasi antarpenghuni sel tidak terjadi. Di bagian belakang sel dipasang jendela kecil agar cahaya dapat masuk menerangi isi sel. Di pusat lingkaran sel-sel tersebut dibangun sebuah menara pengawas dengan jendela penutup. Dengan konfigurasi seperti ini, si penjaga dapat melihat semua penghuni sel sementara penghuni sel tidak dapat melihat si penjaga.
Michel Foucault melihat Panopticon sebagai suatu model kontrol yang unik, suatu metode kontrol yang tidak lagi menggunakan dominasi fisik terhadap raga, tetapi melalui isolasi dan observasi yang kontinu. Efek signifikan dari Panopticon adalah penginduksian tingkat visibilitas yang secara sadar dan permanen dilakukan untuk memastikan berfungsinya kekuasaan. Panopticon adalah sebuah mesin yang berfungsi untuk menciptakan sekaligus melestarikan suatu relasi kekuasaan yang lepas dari pihak yang melakukannya. Secara materialistis, jembatan Long Island, mesin kontrol numerik, dan penjara Panopticon adalah artefak-artefak yang terdiri dari elemen-elemen yang netral. Namun, ketika elemen-elemen ini membentuk suatu konfigurasi, dengan serta-merta netralitas tersebut sirna. Dengan konfigurasi tertentu, artefak teknologi berubah menjadi media hegemoni, dominasi, dan kontrol untuk memenuhi kepentingan sang pencipta konfigurasi tersebut. Dari perspektif ini kita bisa melihat tiga artefak di atas sebagai refleksi dari relasi manusia dan teknologi melalui kekuasaan yang meliputi tiga tujuan. Pada kasus jembatan Long Island, teknologi berfungsi sebagai media praktik kekuasaan. Pada kasus mesin kontrol numerik, teknologi menjadi alat untuk melanggengkan kekuasaan. Adapun pada kasus penjara Panopticon, teknologi berfungsi untuk memproduksi kekuasaan.
Budaya dan teknologi
Kekuasaan tidak lahir dari kondisi vakum. Dia muncul dari suatu konsteks budaya tertentu sehingga kekuasaan selalu bersifat kontekstual dan lokal. Karena itu, seperti yang dikatakan Bryan Pfaffenberger, penjelasan praktik kekuasaan dalam teknologi tidak akan pernah memuaskan jika kesadaran tentang sistem budaya diabaikan. Pfaffenberger berargumen bahwa fungsi politis dari suatu teknologi baru dapat tercapai jika teknologi tersebut dibungkus dalam mitos dan ritual dan menjadi alat kontrol produksi dan resepsi makna. Argumen Pfaffenberger didukung oleh David Hess melalui konsep relasi kekuasaan dan budaya. Hess menggunakan konsep ini untuk memahami kompleksitas operasi kekuasaan di masyarakat. Menurut Hess, tanpa adanya perspektif budaya, analisis kekuasaan akan menjadi tumpul dan hanya hanya terfokus pada sejumlah kategori sosial yang terbatas. Hasilnya adalah pengamatan dimensi kekuasaan yang sempit. Mendekati kekuasaan melalui budaya dalam teknologi mengantarkan kita ke konsep konstruksi budaya. Konstruksi budaya tersusun melalui proses interpretasi-reinterpretasi dan produksi-reproduksi simbol, identitas, dan makna di dalam masyarakat. Aliran dari keluaran proses ini lalu ditransformasikan ke dalam artefak teknologi. Dalam kerangka konstruksi budaya ini, pengembangan teknologi menyerupai apa yang disebut Claude Levi-Strauss sebagai bricolage.
Bricolage adalah aktivitas penggabungan elemen-elemen yang ada untuk memenuhi suatu tuntutan lingkungan. Menurut Hess, teknologi modern tidak berbeda jauh dengan prinsip bricolage di mana interpretasi budaya membentuk versi teknologi di masyarakat. Dalam pola ini, seorang praktisi teknologi adalah seorang bricoleur. Dia menghasilkan suatu teknologi baru melalui rekonstruksi elemen-elemen yang sudah ada untuk dibentuk menjadi suatu teknologi “baru” dalam konteks budaya di mana dia berada. Dalam kata lain, orisinalitas teknologi ditentukan oleh konsep makna yang digunakan.
Pada tingkat praksis, konsep konstruksi budaya dalam teknologi tidak hanya untuk memahami lebih mendalam bagaimana teknologi berinteraksi dengan makna, ritual, dan nilai. Oleh Linda Layne, konstruksi budaya dapat dijadikan “tool” untuk membuat teknologi lebih manusiawi dan dapat diterima dengan baik di masyarakat. Di sini Layne menawarkan apa yang dia sebut sebagai “cultural fix” di mana nilai-nilai budaya di adopsi ke dalam konfigurasi teknologi. Hal ini dapat dilakukan melalui pemahaman makna dalam masyarakat untuk mengidentifikasi kesenjangan antara teknologi dan masyarakat dan mencari solusinya.
Ketika kotak itu terbuka
Kompleksitas teknologi modern telah melampaui batas dimensi indrawi manusia dalam mencerna. Kondisi ini membentuk sikap “taken for granted” dalam masyarakat kontemporer terhadap teknologi, suatu sikap yang menerima teknologi dengan mata tertutup. Tragisnya, sikap ini secara perlahan menggali jurang dalam yang dapat menjebloskan manusia ke dalam bencana kemanusiaan.
Namun demikian, kita tidak perlu menjadi paranoid dan bersikap antiteknologi. Alasan untuk menolak sikap ini jelas karena manusia tidak akan pernah lepas dari teknologi. Yang dibutuhkan adalah suatu tingkat pemahaman teknologi yang lebih mendalam. Pada tingkat ini, teknologi tidak lagi dilihat pada aspek materialitasnya yang sering bersifat ilusif melainkan sebagai suatu bentuk upaya penyingkapan daya yang tersembunyi di alam seperti yang dilontarkan Martin Heidegger. Penyingkapan ini bagai pedang bermata dua. Dia mengantarkan manusia kepada bentuk “kebenaran” tentang potensi-potensi yang tersembunyi di alam. Di sisi lain dia memancing nafsu dan keserakahan manusia untuk terus melakukan dominasi dan kontrol terhadap alam. Pemahaman teknologi secara esensial melalui dimensi sosial, politik, dan kultural menyediakan tangga bagi kita untuk naik dan menggapai kotak hitam teknologi yang selama ini kita letakkan di atas kesadaran kemanusiaan kita. Pemahaman esensi teknologi ini juga menjadi kunci untuk membuka kotak hitam tersebut. Dan ketika kotak itu terbuka kita bisa melihat sebuah cermin yang terpasang rapi di dalam kotak itu. Cermin yang menunjukkan wajah kita sendiri.
***
Penulis adalah Mahasiswa Program Doktor Dept Science and Technology Studies Rensselaer Polytechnic Institute di Troy, New York, Amerika Serikat / Sumber: Kompas Cyber Media