Jumat, 09 Oktober 2009

Bidang-bidang Komunikasi


Pendahuluan
Pada bagian ini kita kaji tentang karakteristik komunikasi massa yang oleh banyak orang hanya dibatasi pada “komunikasi berhadapan dengan massa” atau “komunikasi berhadapan dengan orang banyak” atau “berpidato di hadapan dengan orang banyak”. Secara konseptual pemahaman ini kurang pas. Dalam bahasa Inggris, untuk menyebut “komunikasi berhadapan dengan massa atau publik” ini digunakan istilah “public speaking” ---misalnya, seorang kandidat presiden yang sedang berpidato di hadapan massa pendukungnya di sebuah lapangan terbuka.
Di sini, dalam studi komunikasi, komunikasi massa selalu dimengerti sebagai “komunikasi dengan menggunakan media massa”. Jika kita menyebut media massa, yang ditunjuk surat kabar, majalah atau tabloid, yang dikelompokkan ke dalam media cetak; atau radio dan televisi, yang keduanya disebut media elektronika. Media massa juga biasa disebut sebagai “media”, saja. Frasa “komunikasi massa” kita adopsi dari istilah bahasa Inggris “mass communication”, atau komunikasi media massa (mass media communication), yang berarti komunikasi dengan menggunakan media massa atau komunikasi yang “mass mediated”---komunikator tak dapat bertatap langsung dengan khalayak. Sedangkan istilah “mass media” (Inggris) atau “media massa” (Indonesia) adalah dari “media of mass communication”---media yang digunakan dalam komunikasi massa.
Sementara DeFleur & McQuails mendefinsikan komunikasi massa sebagai “suatu proses melalui mana komunikator-komunikator menggunakan media untuk menyebarluskan pesan-pesan secara luas dan terus-menerus menciptakan makna-makna serta diharapkan dapat mempengaruhi khalayak yang besar dan beragam dengan melalui berbagai macam cara.”
Definisi lain datang dari Littlejohn yang mengatakan “komunikasi massa adalah suatu proses dengan mana organisasi-organisasi media memproduksi dan mentransmisikan pesan-pesan kepada publik yang besar, dan proses di mana pesan-pesan itu dicari, digunakan, dimengerti, dan dipengaruhi oleh audience.” Ini artinya, proses produksi dan transmisi pesan dalam komunikasi massa sangat dipengaruhi oleh kebutuhan dan kepentingan audience.
Namun demikian, surat khabar, radio, atau televisi sebenarnya hanya merupakan alat teknis. Komunikasi massa yang dimaksud di sini bukan semata-mata komunikasi dengan bantuan teknologi radio, televisi, atau teknik-teknik modern lainnya. Meskipun teknologi modern selalu digunakan dalam proses komunikasi massa, tetapi penggunaan alat-alat teknis ini tidak selalu menunjukkan komunikasi yang disebut komunikasi massa . Peralatan teknis ini tidak bisa dicampuradukkan dengan “proses” yang akan menjadi bahasan kita di sini. Komunikasi massa, sebagaimana digunakan di sini, bukan semata-mata suatu sinonim untuk komunikasi dengan bantuan radio, televisi, atau teknik-teknik modern lainnya. Ilustrasi berikut bisa lebih menjelaskan hal ini.
Suatu penyiaran televisi oleh stasiun televisi kepada masyarakat luas mengenai konvensi politik, misalnya, merupakan komunikasi massa; tetapi siaran dalam sirkuit tertutup di mana operasi-operasi industri dimonitor melalui layar pesawat televisi oleh seorang ahli mesin, tidak bisa dikatakan sebagai komunikasi massa. Mengambil contoh yang lebih nyata, film “Pearl Harbour” yang disiarkan oleh salah satu stasiun televisi kita adalah komunikasi massa, tetapi rekaman video film mengenai pernikahan anak Pak Noyo dengan putri Pak Genggong yang diputar di ruang keluarga, bukan komunikasi massa.
Kedua, media di atas menggunakan teknik yang sama---transmisi elektronik dari gambar di satu fihak, dan perekaman film di fihak lain. Meski begitu, salah satu diantaranya tidak menerangkan atau menunjukkan komunikasi massa. Bukan komponen-komponen teknis dari sistem komunikasi modern itu yang membedakannya sebagai media massa. Komunikasi massa merupakan jenis khusus dari komunikasi sosial yang melibatkan berbagai kondisi pengoperasian, terutama sifat khalayak, sifat bentuk komunikasi, dan sifat komunikatornya .
Contoh lain yang relevan adalah telepon. Meskipun telepon membuat orang bisa berkomunikasi dengan orang lain dengan jarak geografis yang secara teoritis tak terbatas, tetapi alat komunikasi modern ini juga bukan komunikasi massa. Telepon bukan komunikasi massa sebab audiensnya tidak dalam jumlah besar dan tidak beragam---yang merupakan salah satu karakteristik institusi media yang penting. Orang-orangnya juga bukan komunikator profesional.
Ini berarti, ada beberapa syarat agar suatu format komunikasi disebut komunikasi massa atau institusi media. Syarat-syarat itu akan memberikan karakteristik khusus pada institusi media, yang membedakannya dengan format komunikasi yang lain (misalnya komunikasi antarpersona atau komunikasi organisasional), dan dengan institusi lain (misalnya dengan institusi pemerintah, pengadilan, atau keluarga). Memahami media dengan pendekatan institusional ini dilakukan agar fenomena media yang kompleks ini dapat dijelaskan secara komprehensif.


PROSES DALAM KOMUNIKASI MASSA
Dalam komunikasi massa, proses itu tentu disesuaikan dengan medianya. Definisi yang kita kutipkan di sini menunjukkan, komunikasi massa selalu berhubungan dengan transmisi dan penyebaran pesan. DeFleur/Dennis, misalnya, mengatakan “komunikasi massa adalah proses di mana komunikator professional menggunakan media untuk pesan secara luas, cepat dan kontinyu untuk menimbulkan makna yang diharapkan pada audience yang besar dan beragam dalam upaya mempengaruhinya dalam beragam cara.” Hal serupa juga dikatakan Janowitz (1968) : “komunikasi massa terdiri dari lembaga-lembaga dan teknik-teknik dengan mana kelompok-kelompok khusus menggunakan peralatan-peralatan teknologi (pers, radio, film dsb) untuk menyebarkan isi simbolik kepada audience yang banyak jumlahnya, heterogen dan terpisah-pisah.”
Dari sini kita bisa melihat komponen-komponen dalam komunikasi massa, yang mencirikan sifat khusus institusi media :
1. “Si pengirim” dalam komunikasi massa selalu merupakan bagian dari sebuah kelompok yang terorganisir, dan seringkali merupakan anggota dari sebuah lembaga yang punya fungsi lain selain komunikasi.
2. “Si penerima” selalu seseorang tetapi juga dapat dilihat oleh si pengirim sebagai suatu kelompok atau kumpulan dengan beberapa atribut umum tertentu.
3. Salurannya, tidak lagi terdiri dari hubungan antar manusia, alat-alat ekspresi atau pancaindera, tetapi mencakup alat-alat dengan sistem penyebaran yang berdasarkan teknologi. Sistem-sistem ini tetap memiliki komponen-komponen social, karena terikat pada hokum, adapt istiadat dan harapan-harapan masyarakat.
4. Pesan-pesan dalam komunikasi massa bukan merupakan sesuatu yang unik, dapat diulang-ulang dan seringkali sangat kompleks sifatnya.
Proses komunikasi dalam komunikasi massa berlangsung dengan menggunakan media massa. Media massa dengan demikian, maka proses ini akan lebih kompleks bila dibandingkan dengan, misalnya, komunikasi antar persona. Sementara DeFleur/Dennis, menunjuk adanya lima tahap proses komunikasi massa (DeFleur, 1988 : 6) :
• Sebuah pesan diformulasikan oleh para komunikator professional
• Pesan dikirim secara cepat dan kontinyu dengan meneruskannya melalui media.
• Pesan menjangkau audiens yang luas dan beragam, yang menyertai media dengan cara yang selektif.
• Individu anggota audiens menginterpretasikan pesan dengan cara sesuai dengan makna berdasarkan pengalamannya yang diharapkan kurang lebih sama dengan yang dimaksud komunikator professional.
• Sebagai hasil pengalaman makna ini anggota audiens dipengaruhi dalam suatu cara bahwa komunikasi memiliki pengaruh.

Berikut adalah komponen-komponen proses komunikasi ini :
1. Komunikator profesional
Diantara beberapa komponen dalam proses komunikasi massa. “komunikator profesional” memegang peranan penting dalam proses komunikasi massa. Komunikator professional adalah sebuah tim, yang terdiri dari orang-orang yang berperan memproduksi proses komunikasi massa.
Dengan demikian, komunikator professional adalah “orang-orang media” itu sendiri atau dari institusi lain yang membentuk pesan dalam suatu format yang dapat ditransmisikan melalui media massa. Mereka adalah para spesialis yang memiliki keahlian khusus di bidangnya, seperti pada produser, editor, reporter, wartawan, redaktur, dan bagian teknis, yang mengorganisasi, mengedit, dan menyebarkan informasi, hiburan, drama, dan bentuk isi media yang lain. Umumnya mereka ada di rumah produksi (production house), perusahaan atau biro iklan.
2. Penjaga Gawang (Gatekeeper)
Komunikator profesional memiliki fungsi yang dikonsepsikan sebagai “penjaga gawang” (gatekeeper). Penjaga gawang adalah orang yang---dengan memilih, mengubah, dan menolak pesan---dapat mempengaruhi aliran informasi kepada seseorang atau sekelompok penerima.
Keputusan penjaga gawang mengenai informasi mana yang diterima dan ditolak dipengaruhi oleh banyak variable.
3. Cepat dan Kontinyu
Tahap ketiga dari proses komunikasi masa adalah menggerakkan pesan untuk mengatasi hambatan ruang dan waktu. Dikatakan, media massa dapat mengatasi ruang dan waktu. Ini berarti, pengiriman pesan-pesan media massa, lebih dari media anatra personal, dilakukan secara cepat dan menyebar dalam jangkauan yang luas. Pada media cetak, penyebaran pesan tidak begitu cepat, setidak-tidaknya tidak secepat media elektronika.
Pada media elektronika kecepatan dan mengatasi hambatan geografis menjadi nomor satu. Dengan teknologi komunikasi, dunia menjadi apa yang oleh Marshall Mcluhan sebagai ‘global village’. Penyebab utamanya adalah satelit komuknikasi. Satelit komunikasi menerima, memperkuat, dan mentransmisi sinyal suara, musik, TV, telepon, telegraf dan data dari titik ke titik lain di bumi. Wilayah liputannnya mencapai hingga 2/5 permukaan bumi, dan dapat menhubungkan informasi dari stasiun bumi ke satu atau banyak stasiun bumi yang lain.
Dikatakan kontinyu karena media massa bekerja secara ajeg. Ada periodesasi dan terus menerus. Surat kabar harian terbit setiap hari, majalah terbit setiap bulan, misalnya. Radio dan televisi menyiarkan program setiap hari, dalam rata-rata 20-an jam.
4.Keragaman Audiens
Pesan menjangkau audiens yang luas dan beragam, yang menyertai media dengan cara yang selektif. Karena sifatnya yang umum, audiens media bisa sangat beragam, tidak memandang status sosial, tingkat pendidikan, agama, suku, ras, dan segala macam pengelompokan social. Hal ini terlihat dari, misalnya bahsa yang digunakan. Sebisa-bisanya bahasa media harus dapat dipahami oleh semua anggota audiens pada semua tingkat intelektualitas. Pengguaan istilah-istilah teknis ilmiah misalnya, mencoba dihindari. Meskipun demikian pada kenyataannnya media mengenal sekmentasi. Sebagai contoh, semua orang tahu bahwa Koran Kompas mengambil sekmen kelas menengah ke atas, baik secara intelektual maupun ekonomis. Sementara Pos Kota mengambil sekmen masyarakat bawah. Disamping itu ada sekmentasi yang didasarkan atas jenis kelamin, usia dan hoby. Ada media yang ditujukan khusus kepada perempuan (majalan Femina, Tabloid Nova), dan ada yang khusus untuk laki-laki (Majalah Matra).
Individu anggota audiens menginterpretasikan pesan dengan cara sesuai dengan makna berdasarkan pengalamnnnya yang diharapkan kurang lebih sama dengan yang diakui komunikator professional. Makna ada pada audiens bukan pada komunikator. Oleh karena itu pesan –pesan media selalu diinterpretasikan oleh audiens berdasartkan simpanan prengetahuan yang ada pada mremori masing-masing individu.
Jarang terjadi makna yang dimaksudkan oleh komunikator sama persis dengan makna hasil interpretasi audiens. Untuk mendekati ’persamaan’ itu, komunikasi harus berlangsung timbal balik, terjadi dialog. Di sisi lain, makna juga dibentuk secara social, secara intersubjektif. Ada semacam kontrak sosial dalam suatu komunitas, dalam sebuah domain kebudayaan, atau dalam sistem sosial. Karena itu, makna dalam satu budaya tertentu bisa berbeda dengan makna dari komunitas budaya yang lain.
5. Pengaruh
Sebagai hasil pengalaman makna ini anggota audiens dipengaruhi dalam suatu cara, bahwa komunikasi memiliki pengaruh. Pengaruh komunikasi biasanya dikonsepsikan sebagai dampak. Baik dalam komunikasi interpersonal, komunikasi organisasional, komunikasi publik maupun komunikasi massa.

PENGARUH MEDIA
Ada pengakuan di banyak orang bahwa media massa memiliki pengaruh atau dampak terhadap audiens. Sebuah berita, misalnya, menyebutkan : seorang anak usia belasan tahun melakukan perampokan karena beberapa kali menonton film kekerasan di televise. Dalam kehidupan sehari-hari, fenomena dampak media banyak kita jumpai. Misalnya, gadis-gadis menggunakan shampoo merk tertentu karena merek tersebut diiklankan di televise; atau, kita membatalkan pergi ke sebuah kota karena media massa memberitakan bahwa kota tersebut dilanda kerusuhan. Pernyataan yang menyimpulkan adanya dampak media, seperti yang tercermin dari contoh kasus di atas, nampak logis dan benar.
Meskipun demikian, apa yang dilakukan sebagi dampak media seprti yang terjadi dengan kasus-kasus semacam itu hanya merupakan perkiraan, atau simplikasi pemikiran. Kita tak dapat menjawab dengan pasti jika dirtanyakan : benarkah media menjadi penyebab (tunggal) bagi perilaku tersebut ? Dalam kasus perampokan yang dilakukan anak, misalnya, muncul pertanyaan : kenapa ribuan anak lain yang juga menonton program televise yang sama tidak melakukan perampokan ?
Dalam konteks ini, sudah banyak diketahui bahwa hubungan sebab akibat dalam ilmu-ilmu social tak pernah tunggal. Artinya, sebuah akibat tak pernah disebabkan hanya oleh sebab tunggal, melainkan oleh banyak sebab. Sebaliknya juga berlaku, sebuah sebab juga dapat menimbulkan lebih dari satu akibat. Jika kita mengatakan, atau menyimpulkan, bahwa “Si Bonek” melakukan perampokan disebabkan oleh seringnya ia menonton film kekerasan di TV, maka kesimpulan ini telah mengesampingkan dictum dalam ilmu-ilmu social tersebut. Mengesampingkan teori dan kenyataan bahwa sebuah akibat tak pernah memiliki sebab tunggal, mengesampingkan bahwa Si Bonek hidup dalam suatu relasi social dengan factor-faktor yang memungkinkan dan potensial menjadi penyebab perilaku perampok. Kemiskinan, kesumpekan social, alienasi, misalnya, bisa menjadi factor-faktor penyebab perilaku perampokan.
Kasus lain, yang cukup fenomenal, adalah ketika Ronald Reagen terpilih menjadi presiden Amerika Serikat. Banyak ahli menyimpulkan, mantanm bintang film ini terpilih menjadi presiden karena factor media. Reagen memanfaatkan media massa, terutama televise, untuk menciptakan citra tertentu tentang dirinya. Sebagai seorang mantan bintang film, ia mampu “berakting” demikian rupa sehingga terbentiuk citra tertentu itu : meyakinkan khalayak bahwa ia layak menjadi presiden. Ia mengeksploitasi media untuk kepentingan itu karena memahami dan yakin akan kekuatan media.
Yang lain dikatakan dengan ilustrasi ini adalah, ada kompleksitas yang menyelimuti media massa ketika kita berbicara soal dampak media. Ada banyak factor yang ikut andil ketika kita menyimpulkan bahwa sebuah perilaku dipengaruhi oleh media.

1 Perspektif Historis

McQuail selanjutnya membedakan perkembangan itu menjadi tiga tahapan. Tahapan pertama, merentang dari awal abad ke sembilan belas hingga akhir tahun 1930-an. Media yang berkembang ketika itu memiliki pengaruh yang cukup untuk membentuk opini dan keyakinan, serta mengubah kebiasaan hidup. Pandangan seperti ini tidak didasarkan atas kajian ilmiah, tetapi atas dasar pengamatan terhadap kepopuleran pers, media film, dan media radio yang baru, serta pengaruhnya dalam banyak aspek kehidupan sehari-hari. Keyakina tersebut dianut bersama dan diperkuat oleh para pengiklan dan petugas propaganda pemerintah selama Perang Dunia I. Di Eropa, penggunaan media oleh negara-negara dictator selamanya terjadinya perang tampaknya menegaskan hal-hal yang cenderung telah diyakini orang-orang—bahwa media dapat sangat berpengaruh.
Tahap kedua, dimulai dengan serangkaian studi Payne Fund di Amerika Serikat pada awal tahun 1930-an, yang berlanjut hingga awal tahun 1960-an. Banyak studi terpisah yang dilakukan tentang dampak jenis isi, terutama film atau program-program dalam kampanye secara kreseluruhan. Jenis studi yang diselenggarakan sangat beragam, tetapi perhatian dipusatkan pada kemungkinan penggunaan film dan media lainnya untuk keperluan persuasi aktif atau penyebaran informasi, atau untuk menilai, dengan tujuan pencegahan, dampak yang merusak dal;am kaitannya dengan pelanggaran hukum, prasangka, agresi, rangsangan seksual. Ikhtisar atas hasil penelitian yang dilakukan Joseph Klapper menyimpulkan “komunikasi massa biasanya tidak berfungsi sebagai penyebab dampak audiens yang perlu dan memadai, melainkan berfungsi melalui serangkian factor yang menengahi.” Persoalannya bukan karena media telah terbukti tidak memiliki dampak, dalam semua kondisi, tetapi karena media beroperasi dalam struktur social yang telah ada serta dalam konteks social dan budaya tertentu. Faktor social dan budaya ini memiliki peran penting dalam membentuk pilihan, perhatian, dan tanggapan dari audiens.
Tahap ketiga, yang sekarang masih berlangsung, merupakan tahap di mana dampak dan kemungkinan dampak masih sedang ditelaah dengan tanpa menolak kesimpulan penelitian sebelumnya, tetapi didasarkan atas perbaikan konsepsi tentang proses sosial dan media yang mungkin terlibat. Pengkajian terdahulu sangat bersandar pada model yang menelaah korelasi antara kadar “pendedahan” (exposure) isi tertentu dan perubahan atau variasi sikap, opini, atau informasi yang diukur. Pembaruan penelitian dampak ditandai dengan adanaya pergeseran perhatian ke arah : perubahan jangka panjang: kognisi ketimbang sikap dan afeksi; peran yang dimainkan oleh isi, disposisi, dan motivasi sebagai variable sela (intervening variabel); gejala kolektif seperti iklim opini, struktur keyakinan, ideology, pola budaya bahkan bentuk-bentuk kelembagaan.

2 Jenis Dampak Media
Dari beberapa ilustrasi di atas kita mengetahui bahwa dampak media berhubungan dengan perubahan, perubahan yang terjadi pada audiens setelah membaca, mendengar, atau menonton media massa. Dengan deminikan kita bisa mendefinisikan dampak media sebagai : “akibat yang diterima audiens setelah menerima pesan dari komunikator.”
Namun sebenarnya dampak media tidak hanya disebabkan oleh pesan media. Media kita lihat fenomenanya. Pak Amat sering bangun kesiangan karena menonton televisi sampai larut malam. Seorang ibu mengeluh karena harus mambayar listrik lebih tinggi sejak membeli pesawat televisi. Dua fenomena ini merupakan dampak media, tetapi bukan karena pesan media, melainkan karena kehadiran televisi. Jadi, dampak media juga berhadapan dengan kehadiran media.
Stephen H. Chaffee, yang dikutip Jalaluddin Rachmad (1985:217), menyebut lima hal yang berhadapan dengan dampak kehadiran media ini, yakni efek ekonomis, efek sosial, efek pada penjadwalan kegiatan, efek pada penyaluran/penghilangan perasaan tertentu, dan efek pada perasaan orang terhadap media.
Efek ekonomi. Dengan hadirnya surat khabar, akan menghidupi para loper Koran, berkembangnya perusahaan percetakan. Dampak yang lebih luas, baik kehadiran media cetak maupun media elektronik, akan menumbuhkan industri ikutan seperti biro iklan, rumah produksi, yang tentunya akan menciptakan lapangan kerja baru.
Efek sosial. Dulu, ketika televisi masih langka di pedesaan, orang yang memiliki televisi akan meningkat status sosialnya. Karena masih jarang yang memilikinya, orang0-orang akan berkumpul di rumah pemilik televisi untuk menonton kotak ajaib ini. Di sini tercipta solidaritas sosial.
Efek pada penjadwalan kegiatan. Mungkin kita pernah menyaksikan bagaimana ibu-ibu rumah tangga sangat menggemari telenovela. Karena penayangannya pada sekitar pukul 17.00 bersamaan dengan jam arisan, maka kelompok ibu-ibu ini mengiubah jam arisannya. Maka, kehadiran televisi telah mengubah jadwal kegiatan.
Di luar itu, kegiatan televisi telah mengiubah, lebih tegasnya, mengurangi jam kegiatan lain. Gejala semacam itu oleh Joyce Cramond disebut sebagai “displacement effects” (efek alihan) yakni reorganisasi kegiatan yang terjadi karena masuknya televisi: beberapa kegiatan dikurangi dan beberapa kegiatan lainnya dihentikan sama sekali karena waktunya dipakai untuk menonton televisi (jalaludin Rachmad, 1985:218).
Efek pada penyaluran/penghilangan perasaan tertentu. Orang menonton televisi, mendegarkan radio, atau membaca koran seringkali merupaka perilaku “bagitu saja” tanpa tujuan. Katika anda lelah atau tidak bisa tidur di malam hari, anda menghidupkan pesawat televisi tanpa anda peduli pada apa materinya. Anda mungkin sedang menghilangkan kesepian, rasa marah, atau bingung.
Efek pada perasaan orang terhadap media. Anda mungkin menyenangi televisi, karena membuat anak-anak betah di rumah, tidak bermain di luar rumah. Tetapi mungkin juga tumbuh perasaan “benci” terhadapnya, karena membuat anak lebih “patuh” pada televisi ketimbang terhadap orang tua. Pernyataan sinis ini untuk menunjukkan bagaimana orang tua modern begitu sibuk sehingga menonton program di televisi.

3 Faktor-Faktor Yang Memperkuat Dampak Media
Banyak faktor yang membuat media menimbulkan dampak bagi khalayak. Yang pertama adalah seberapa sering orang terlibat dengan media dalam hal menonton (televisi), mendengar (radio), atau membaca (koran). Atau diluruskan oleh para ahli komunikasi sebagai “media exposure” (terpaan media).
Anda barangkali hanya perlu menonton televisi selama dua jam per hari, dan yang anda tonton adalah program berita. Tetapi, orang, terutama anak-anak, yang menonton televisi samapai lebih dari tujuh jam per hari. Anda termasuk dalam kategori rendah media exposure-nya, sementara anak-anak diketegorikan tinggi tingkat media exposure-nya. Perbedaan tingkat media exposure ini tentu membawa perbedaan dalam menimbulkan dampak.
Jika seseorang terlalu banyak menonton program kekerasan di televisi, dampaknya akan lebih kuat ketimbang yang jam tontonnya lebih rendah. Anak-anak sering mendendangkan jingle iklan ketika di kamar mandi, karena seringnya jingle tersebut ditayangkan TV. Pada fenomena lain, orang yang terlalu sering menonton program kekerasan televisi akan merasa bahwa dunia ini penuh kekerasan. Program kekerasan yang terlalau sering ditayangkan TV membuat orang membuat generalisasi bahwa apa yang ditampiulkan TV sama dengan realitas empirik yang sesungguhnya.
Faktor kedua adalah kredibilitas. Dalam komunikasi, pesan itu penting tetapi siapa (komunikator) yang menyampaikan pesan tak kalah pentingnya. Informasi tentang bahaya penyakit AIDS akan lebih dipercaya masyarakat kita disampaikan oleh seorang dokter ketimbang disampaikan oleh seorang politikus. Dimata masyarakat, dalam hal aids, dokter lebih kredibel dibandingkan seorang politikus. Kredibilitas di sini menyangkut kompetensi—dokter lebih kompeten.
Di bidang politik, dalam pemilihan presiden, banyak pemberi suara yang membawa kepada kampanye pemilihan konsepsi tentang sifat-sifat yang paling diinginkan kepada pemegang jabatan pemerintah. Citra tentang pemegang jabatan yang ideal ini memberikan garis besar, atau standar, yang digunakan oleh pemberi suara untuk dibandingkan dan menilai sifat-sifat yang dipersepsinya pada kandidat yang benar-benar mencalonkan diri untuk jabatan. Beberapa studi melaporkan, para pemilih mencari sifat abstrak seperti kedewasaan, kejujuran, kesungguhan, kekuatan, kegiatan dan energi. Gabungan ini sebenarnya merupakan gabungan sifat hero, dengan dimensi kepribadian yang kuat (Nimmo dan Savage, dalam Nimmo, 1989 : 210). Kepribadian ini menjadi faktor utama tumbuhnya kedibilitas seorang calon presiden.
Dalam kaitannya dengan kredibilitas ini, studi lain, yakni studi Miller dan Jackson (1976) menemukan, pertama, struktur citra rakyat tentang pemegang jabatan sangat stabil, dan memiliki dimensi-dimensi yang jelas, termasuk bagaimana orang membayangkan sifat pribadi. Latar belakang profesional, afiliasi partai, dan pendirian ideologis kandidat yang ideal; kedua, perbandingan citra ideal pemberi suara dengan persepsi mereka tentang kandidat pada dimensi-dimensi sifat personal dan latar belakang profesional menyajikan perkiraan yang akurat tentang hasil pemilihan umum (dalam Nimmo, 1989 : 210). Ini juga masalah kepribadian, yang kemudian menjadi faktor kredibilitas.
Faktor ketiga adalah konsonansi (kesesuaian). Anda mungkin pernah merasakan, bahwa ada tokoh yang anda sukai di samping yang tidak disukai. Untuk tokoh yang tidak anda sukai, begitu muncul di televisi, misalnya, setiap pesan yang disampaikan tidak pernah sampai ke memori anda. Anda memiliki predisposisi untuk menolaknya, karena tidak adanya ketidaksesuaian antara pesan yang datang dengan informasi yang ada dalam memori anda. Sebaliknya, pada tokoh yang anda sukai, pesan darinya akan mudah anda terima, karena sudah ada kesesuaian antara pesan yang datang dengan simpanan informasi di memori anda.
Faktor keempat, adalah signifikansi. Dalam media massa, ada informasi yang penting dan sangat berarti bagi anda, tetapi ada yang tidak. Jika anda seorang penggemar ikan hias, maka informasi tentang kenaikan harga makanan ikan hias akan anda anggap penting, lebih panting dari informasi mengenai perubahan kurikulum, misalnya. Informasi yang signifikansinya bisa berlaku lebih luas, dan bisa pada khalayak. Informasi mengenai kenaikan harga bahan bakar akan memiliki signikansi luas sehingga juga berdampak pada khalayak luas.
Faktor kelima adalah sensitif. Di jaman Orde Baru dulu, ada istilah yang amat populer, yakni stabilitas nasional. Media massa selalu diwanti-wanti agar tidak memuat berita-berita yang sensitif, yang dapat mengganggu stabilitas nasional. Berita-berita yang dianggap sensitif itu adalah mengenai SARA. Berita sensitif akan berdampak besar dan luas, karena sedikit kesalahan saja akan membawa dampak pada hubungan sosial, konflik, dan kerusuhan.
Faktor berikutnya berhubungan dengan situasi kritis. Ketika terjadi krisis politik di tahun 1998, ada kesimpangsiuran informasi tentang reformasi. Masyarakat sulit membedakan informasi yang bisa dipercaya dan informasi yang hanya gosip. Dalam situasi kritis demikian, dampak sebuah informasi akan besar. Misalnya, informasi tentang siapa yang benar-benar reformis, informasi tentang siapa yang berkuasa, akan memiliki dampak besar bagi khalayak.
Faktor lain yang juga penting adalah dukungan komunikasi antarpribadi. Dalam teori ”komunikasi dua tahap” (two step flow), dikatakan bahwa komunikasi massa sering tidak efektif. Dalam berbagai penelitian terbukti, komunikasi massa akan lebih efektif bila disertai dan didukung komunikasi antarpersona.

FUNGSI KOMUNIKASI MASSA
Pentingnya media massa di masyarakat, menurut Denis McQuail, adalah di samping merupakan industri yang terus berkembang—dengan menciptakan tenaga kerja serta menghidupi industri lain—juga karena media merupakan sumber kekuatan (Mc Quail, 1989 :3). Di luar itu media merupakan forum untukmenampilkan berbagai peristiwa, menjadi wahana pengembangan kebudayaan, serta sumber dominan bagi orang untuk memperoleh ganbaran tentang realitas sosial. Ini yang membuat studi tentang komunikasi massa menjadi semakin banyak diminati.
Di antara ahli komunikasi yang teorinya tentang fungsi media banyak dikutip, Harold D. Lasswell barangkali menempati tempat utama. Menurut Laswell, ada 3 (tiga) fungsi media massa, yakni (1) pengawasan lingkungan, (2) korelasi antar bagian masyarakat dalam menanggapi lingkungan, dan (3) transmisi warisan sosial dari suatu generasi ke generasi berikutnya. Ketiga aktivitas ini biasanya ditambah dengan fungsi keempat, yakni (4) hiburan.
Pengawasan, menunjukkan pengumpulan dan distribusi informasi mengenai kejadian-kejadian yang berlangsung di lingkungan, baik di dalam maupun di luar masyarakat tertentu. Dalam banyak hal, fungsi ini berhubungan dengan “penanganan berita”. Tindakan korelasi meliputi interpretasi informasi mengenai lingkungan dan pemakaiannya untuk berperilaku dalam reaksinya terhadap peristiwa-peristiwa tadi. Aktivitas ini dikenal sebagai editorial atau propaganda.
Sedang transmisi warisan sosial berfokus pada komunikasi pengetahuan, nilai-nilai, dan norma-norma sosial dari generasi ke generasi lain atau dari anggota-anggota satu kelompok kepada pendatang baru. Kita sering menyebutnya sebagai fungsi pendidikan. Fungsi hiburan berhubungan dengan hiburan massa, yang digambarkan para kritikus kebudayaan sebagai “hiburan massa adalah disfungsional selama ia gagal menimbulkan atau menumbuhkan selerapublik sampai pada tingkatan yang mungkin dicapai oelh bentuk-bentuk hiburan yang kurang meluas seperti teater, opera, dan drama-drama klasik.”
Ada satu fungsi lagi yang ditambahkan di sini, yakni fungsi mobilisasi. Menurut Denis McQuails, fungsi ini berhubungan dengan upaya “mengkampanyekan tujuan masyarakat dalam bidang agama.” Fungsi mobilisasi agaknya yang paling relevan dengan permasalahan yang mencoba menghubungkan peranan pers dengan upaya mewujudkan pemerintahan yang baik.
McQuails sendiri memerinci fungsi media lebih detail lagi (McQuail, 1989:70). Menurutnya ada fungsi media bagi maasyarakat dan ada pula fungsi bagi individu. Fungsi utama media bagi masyarakat terdiri dari fungsi informasi, fungsi korelasi, fungsi kesinambungan, hiburan, dan mobilisasi. Fungsi informasi meliputi : menyediakan informasi tentang peristiwa dan kondisi dalam masyarakat dan dunia; menunjukkan hubungan kekuasaan; memudahkan inovasi, adaptasi, dan kemajuan.
Sedangkan fungsi korelasi meliputi : menjelaskan, menafsirkan, mengomentari makna peristiwa dan informasi; menunjang otoritas norma-norma yang mapan; melakukan sosialisasi; mengkoordinasi beberapa kegiatan; membentuk kesepakatan; menentukan urutan prioritas dan memberikan status relatif. Fungsi kesinambungan terdiri dari : mengekspresikan budaya dominan dan mengakui keberadaan kebudayaan khusus (subculture) serta perkembangan budaya baru; meningkatkan dan melestarikan nilai-nilai.
Fungsi Hiburan meliputi menyediakan hiburan, pengalihan perhatian, dan sarana relaksasi; meredakan ketegangan sosial. Fungsi mobilisasi adalah mengkampanyekan tujuan masyarakat dalam bidang politik, perang, pembangunan ekonomi, pekerjaan, dan kadang kala juga dalam bidang agama.

Sedangkan fungsi media bagi individu adalah :
Informasi
>> Mencari berita tentang peristiwa dan kondisi yang berkaitan dengan lingkungan terdekat, maysrakat dan dunia.
>>Mencari bimbingan menyangkut berbagai masalah praktis, pendapat, dan hal-hal yang berkaitan dengan penentuan pilihan
>>Memuaskan rasa ingin tahu da minat umum
>>Mengidentifikasi diri sendiri
>>Belajar, pendidikan diri sendiri
>>Memperoleh rasa damai melalui penambahan pengetahuan.


Identitas pribadi
>> Menemukan penunjang nilai-nilai pribadi
>> Menemukan model perilaku
>> Mengidentifikasikan diri dengan nilai-nilai lain (dalam media)
>> Meningkatkan pemahaman tentang diri sendiri

Integrasi dan Interaksi Sosial
>> Memperolah pengetahuan tentang keadaan orang lain : empati sosial
>> Mengidentifikasikan diri dengan orang lain dan meningkatkan rasa memiliki
>> Menemukan bahan percakapan dan interaksi sosial
>> Memperoleh teman selain dari manusia
>> Membantu menjalankan peran sosial
>> Memungkinkan seseorang untuk dapat menghubungi sanak keluarga, teman, dan masyarakat.

Hiburan
>> Melepasakan diri atau terpisah dari permasalahan
>> Bersantai
>> Mengisi waktu
>> Penyaluran emosi
>> Membangkitkan gairah seks.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar